Setiap rumah tangga
selalu diwarnai dengan hiruk pikuk urusan sepele seperti membayar tagihan
listrik setiap bulan, pergi ke pasar untuk belanja sayur mayur, celetukan anak
merengek dibelikan mainan, gas yang habis, kenduri tetangga, dan serangkaian
peristiwa dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Bagi yang belum pernah
menikah, bayangkan saja keriuhan semasa kos. Banyak hal harus dibayar dengan
"rupiah" bahkan hampir semuanya. .
Tentu tidak akan
menjadi persoalan sengit jika urusan "rupiah" dalam kategori aman
terkendali. Bagaimana siasat mereka yang tengah berada dalam keadaan genting
atau selalu dalam keadaan genting? Menghemat, diet, puasa, memangkas living
cost, atau mengambil kerja part time. Ya. Saya pun seringkali begitu.
Omong-omong, mari kita
sapa mereka yang sudah berpengalaman. Hei kamu perempuan yang sudah menikah
bertahun-tahun, telah memiliki anak yang menggemaskan dan suami yang bekerja
keras untuk keluarga.. Bagaimana kalian menyikapinya? Semakin banyak ujian yang
datang untuk perempuan, ia akan semakin terlatih untuk mengatur segala daya dan
upaya untuk menghadapinya termasuk urusan "rupiah". Benarkah?
Ada seorang ibu yang
telah memiliki tiga orang anak berbagi cerita dengan saya. Obrolan kami
berkisar tentang make up, fashion, pekerjaan, anak, rumah tangga dan suami.
Memang sudah menjadi kebutuhan seorang istri jika harus menjaga penampilan di
hadapan suaminya. Ia pun mengatur urusan domestik agar anak dan suami makan dengan
gizi yang cukup. Belum lagi urusan rumah tangga yang tidak pernah selesai.
Sampai pada suatu
perbincangan tentang manajemen keuangan ia menuturkan bahwa tidak semua
keinginan dan kebutuhan kita terpenuhi dengan begitu mudahnya sekalipun
penghasilan suami kita aman terkendali. Ada kebutuhan yang memang harus kita
dahulukan daripada kebutuhan kita sendiri. Kita menyebutnya skala prioritas.
Bukan karena ia kekurangan "rupiah" kemudian tidak memaksimalkan
penampilan. Bukan. Bukan karena ia tidak bisa 'dandan' lantas ia berpenampilan
apa adanya. Bukan.
Ia tidak pernah belajar
tentang skala prioritas. Tapi ia mengenal betul bagaimana menggunakannya dalam
hidup. Ia menuturkan bahwa lebih baik menyimpan uang yang ia miliki untuk jajan
anak. Ia memilih untuk menahan kebutuhannya demi menjamin kebutuhan anak. Ia
rela memakai baju yang lama daripada membeli baju yang baru demi menjaga stok
beras selama satu bulan. Inilah sikap hidup (seorang) perempuan yang sudah
menikah. Bukan karena keterbatasan yang mengakibatkan perempuan tersebut
bersikap demikian. Mereka berusaha untuk menjamin kebutuhan anak dan suami
dalam situasi apapun bahkan ketika rejeki sedang di uji Allah dalam keadaan
terbatas. Perempuan-perempuan itu ingin menjamin bahwa anaknya bisa jajan saat
mereka merengek, mereka ingin suami mereka tetap makan dengan gizi yang cukup
saat keuangan melimpah dan terbatas. Itu alasannya.
Perempuan
tersebut belajar untuk berusaha menjamin kebutuhan dalam rumah tangga terpenuhi
bagaimanapun kondisi suami. Jika penghasilan suami sedang melimpah, ia berusaha
untuk menyimpannya. Di lain kesempatan saat keuangan sedang tidak baik, ia
dapat menggunakan simpanannya untuk memenuhi kebutuhan semua anggota keluarga.
Dari
obrolan tersebut saya mendapatkan pemahaman bahwa sikap hidup (seorang)
perempuan tidak bisa disorot dari kacamata parsial. Perempuan bisa jauh lebih
visioner dari laki-laki dalam menghadapi persoalan hidup dan memandang
kehidupan (dalam sebuah novel). Hal tersebut tentu tidak luput dari peran
laki-laki (pasangan) dalam mendukung setiap langkah yang diambil perempuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar