Minggu, 10 Agustus 2014

Ini Tentang Sikap Hidup (seorang) Perempuan yang Sudah Menikah



Setiap rumah tangga selalu diwarnai dengan hiruk pikuk urusan sepele seperti membayar tagihan listrik setiap bulan, pergi ke pasar untuk belanja sayur mayur, celetukan anak merengek dibelikan mainan, gas yang habis, kenduri tetangga, dan serangkaian peristiwa dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Bagi yang belum pernah menikah, bayangkan saja keriuhan semasa kos. Banyak hal harus dibayar dengan "rupiah" bahkan hampir semuanya. .

Tentu tidak akan menjadi persoalan sengit jika urusan "rupiah" dalam kategori aman terkendali. Bagaimana siasat mereka yang tengah berada dalam keadaan genting atau selalu dalam keadaan genting? Menghemat, diet, puasa, memangkas living cost, atau mengambil kerja part time. Ya. Saya pun seringkali begitu.

Omong-omong, mari kita sapa mereka yang sudah berpengalaman. Hei kamu perempuan yang sudah menikah bertahun-tahun, telah memiliki anak yang menggemaskan dan suami yang bekerja keras untuk keluarga.. Bagaimana kalian menyikapinya? Semakin banyak ujian yang datang untuk perempuan, ia akan semakin terlatih untuk mengatur segala daya dan upaya untuk menghadapinya termasuk urusan "rupiah". Benarkah?

Ada seorang ibu yang telah memiliki tiga orang anak berbagi cerita dengan saya. Obrolan kami berkisar tentang make up, fashion, pekerjaan, anak, rumah tangga dan suami. Memang sudah menjadi kebutuhan seorang istri jika harus menjaga penampilan di hadapan suaminya. Ia pun mengatur urusan domestik agar anak dan suami makan dengan gizi yang cukup. Belum lagi urusan rumah tangga yang tidak pernah selesai.

Sampai pada suatu perbincangan tentang manajemen keuangan ia menuturkan bahwa tidak semua keinginan dan kebutuhan kita terpenuhi dengan begitu mudahnya sekalipun penghasilan suami kita aman terkendali. Ada kebutuhan yang memang harus kita dahulukan daripada kebutuhan kita sendiri. Kita menyebutnya skala prioritas. Bukan karena ia kekurangan "rupiah" kemudian tidak memaksimalkan penampilan. Bukan. Bukan karena ia tidak bisa 'dandan' lantas ia berpenampilan apa adanya. Bukan.

Ia tidak pernah belajar tentang skala prioritas. Tapi ia mengenal betul bagaimana menggunakannya dalam hidup. Ia menuturkan bahwa lebih baik menyimpan uang yang ia miliki untuk jajan anak. Ia memilih untuk menahan kebutuhannya demi menjamin kebutuhan anak. Ia rela memakai baju yang lama daripada membeli baju yang baru demi menjaga stok beras selama satu bulan. Inilah sikap hidup (seorang) perempuan yang sudah menikah. Bukan karena keterbatasan yang mengakibatkan perempuan tersebut bersikap demikian. Mereka berusaha untuk menjamin kebutuhan anak dan suami dalam situasi apapun bahkan ketika rejeki sedang di uji Allah dalam keadaan terbatas. Perempuan-perempuan itu ingin menjamin bahwa anaknya bisa jajan saat mereka merengek, mereka ingin suami mereka tetap makan dengan gizi yang cukup saat keuangan melimpah dan terbatas. Itu alasannya.

Perempuan tersebut belajar untuk berusaha menjamin kebutuhan dalam rumah tangga terpenuhi bagaimanapun kondisi suami. Jika penghasilan suami sedang melimpah, ia berusaha untuk menyimpannya. Di lain kesempatan saat keuangan sedang tidak baik, ia dapat menggunakan simpanannya untuk memenuhi kebutuhan semua anggota keluarga.
Dari obrolan tersebut saya mendapatkan pemahaman bahwa sikap hidup (seorang) perempuan tidak bisa disorot dari kacamata parsial. Perempuan bisa jauh lebih visioner dari laki-laki dalam menghadapi persoalan hidup dan memandang kehidupan (dalam sebuah novel). Hal tersebut tentu tidak luput dari peran laki-laki (pasangan) dalam mendukung setiap langkah yang diambil perempuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...