Minggu, 08 Desember 2013

Pulang Sendiri I

4 Desember 2013 pukul 7:53

[Catatan Perjalanan]

Rute yang menohok untuk perjalanan panjang dari ibukota propinsi pagi itu. Kedua gadget kesayangan teronggok diatas meja. Oke. Dua hari tanpa sinyal Indosat dan Telkomsel yang sudah seperti gandengan kemana-mana. Terpaksa membawa hanya 95K dikantong dan recehan untuk ke toilet saat dipemberhentian. Saya baru sadar kalau 95K pasti pas untuk melenggang meninggalkan kota Atlas. Sembari menyerahkan uang terakhir kepada kondektur yang terlampau ramah untuk ukuran bapak-bapak, menelan ludah. Masih menatap lembaran itu dan berharap, ah sudahlah. Untung saja makan siang masuk dalam hitungan 95. Allah masih memberikan nyawa setidaknya sampai alun-alun nanti.

Hei, Kampung Rawa disebelah kiri saya! Beberapa foto yang diambil teman sejurusan saya banyak yang mengambil setting di daerah ini. Hasilnya pun jauh dari lumayan yang artinya bagus. Dihias dengan gunung-gunung dibelakangnya, kampung rawa yang masih terbilang baru usianya mendapatkan poin pentingnya, strategis manis. Jalur baru yang terbilang seumur jagung ini memanjakan pengendara yang melintas dengan lanskap rawa, persawahan, kemudian menyatu dengan gunung dan perbukitan disana sini. Jalur ini dibuka untuk menghindari kemacetan di pasar ambarawa yang selalu padat kendaran dan keramaian. Rute yang lumayan memutar jauh terbayar dengan lanskap Allah yang lengkap memanjakan mata. Kampung Rawa yang menghampar diatas Rawa Pening menyediakan kuliner khas, permainan, dan ATV.

Jika kita melintas di pagi atau siang hari mata akan langsung disuguhi hamparan sawah menghijau, kadang kala perahu nelayan disalah satu sisinya. Lampu yang mendaki di sederet bukit-bukit disekelilingnya spektakuler ketika kebetulan kita melintas malam hari. Apabila kita pernah melihat Jakarta dari teluknya, disini kita melihat lampu dikanan dan kiri kita.

Kita akan menemui perempatan lampu merah yang dijaga oleh sekelompok pengamen tradisional. Mereka menari ditengah traffic light dengan busana daerah  plus make up lengkap. Saya sempat memikirkan pendapatan yang mereka peroleh dari pengguna jalan. Apakah sebanding dengan pengeluaran mereka untuk gamelan, make up, busana, dan kebutuhan sehari-hari. Yaa, namanya kerja. Tidak ada yang enak Jil jika tidak berawal dari kesenangan. Bahkan mereka yang mengaku senang pun kadangkala terbentur kebutuhan hidup anak dan istri.

Di Ambarawa berdiri sebuah museum yang dahulunya merupakan sebuah stasiun, Museum Kereta Api Ambarawa. Dibangun pada abad 19 atau tahun 1800an oleh pemerintah Belanda. Museum ini menjadi favorit calon pengantin untuk menggelar pre wedding karena ada belasan lokomotif bertengger di museum ini. Kita bisa melihat jejak-jejak rel bersebelahan dengan jalan raya karena pernah beroperasi rute Semarang-Ambarawa-Solo. Sekarang, rel-rel tersebut sudah usang karena lama tidak beroperasi. Semoga Gubernur yang sudah lebih dari 100 hari mau memaksimalkan transportasi masal favorit tersebut.

Rute Ambarawa tidak akan lengkap sampai kita menoleh rumah megah warna hijau disebelah kanan jalan. Bukankah kita masih ingat peristiwa seorang syeh yang menikahi gadis berusia 14 tahun? Sebentar lagi saya akan melewati kediaman syeh kontroversial itu. Bahkan ia sempat membuat sel untuk dirinya sendiri. Rumah berpagar hijau motif pot bunga tersebut begitu mencolok diantara rumah warga yang terbilang biasa. Meski luas dan memiliki garasi berkapasitas sekitar 4 mobil, rumah tersebut tidak terkesan mewah berlebih.

Warung Kopi Banaran akan menyegarkan pikiran kita selepas mengingat-ingat kasus dan kontrovesi pemilik pondok pesantren. Pertama kali ke Semarang awal tahun 2009, saya masih melihat sisi perbukitan yang gundul dan menyisakan bibit kecil. Sekarang bukit-bukit itu sudah tertutup pohon yang semakin meninggi. Alhamdulillah. Warung Kopi Banaran menyediakan aneka macam kopi yang rasanya khas. Selain kopi, tempat ini menyajikan berbagai permainan dan wisata keliling kebun kopi karena memang warkop yang berdiri sejak 2002 ini terletak persis di area perkebunan kopi milik PTPN IX. Luasnya perkebunan ini dan rute yang unik, akhirnya pengembang membuat dua spot. Disepanjang rute Semarang-Solo tepatnya di area Bawen dan di jalur yang tengah saya lewati. Ada yang mau menikmati secangkir kopi disana bareng saya? ^_^

Melangkah dari Warung Kopi Banaran, kita dilepas oleh Gapura "Selamat Jalan, Kabupaten Semarang" dan menuruni jalanan kemudian disambut dengan "Selamat Datang, Kabupaten Temanggung". Area ini favorit para pengendara truk untuk berguling atau sekadar tergelincir sukses di tanjakannya. Saya pun pernah terjebak kemacetan panjang gegara kontainer mengguling ke salah satu sisinya. Akibatnya terpaksa menikmati macet berjam-jam. Beruntung, ada mushala yang berada didalam kawasan pabrik untuk shalat dhuhur. Memang Allah yang mengatur rejeki hamba Nya, disiang bolong yang serba tidak pasti melengganglah seorang penjual baso mini disekitar biang kemacetan. Macet yang menyenangkan. Menikmati baso mini bersama teman yang melakukan perjalanan serupa.

Ini Temanggung ya? Saya ingat kasus kerusuhan di bulan Februari 2011 lalu. Kerusuhan yang dipicu oleh kasus penistaan agama tersebut punya cerita panjang sejak 2010. Saya yang sempat melintas ketika kota berada dalam kondisi darurat merinding juga melihat masa yang berkeliaran di penjuru kota. Bahkan beberapa konvoi didatangkan dari Brimob dan Polda Jateng untuk mengantisipasi kerusuhan yang semakin melebar. Tetapi perjalanan saya tidak akan melewati rute Temanggung-Wonosobo karena lebih lama dari rute Magelang-Purworejo.

Bersiap-siap masuk kota harapan >> Magelang. Go go go!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...