Seorang tamu mengetuk pintu rumah tanpa mengucap salam. Hening
tanpa suara apapun. Ayah, Ibu dan aku yang berpandangan untuk memutuskan siapa
yang akan membuka pintu. Merasa paling dekat dengan pintu, Ibu beranjak dari
tempat duduknya. Tidak ada suara yang dapat didengar dari ruang tengah meskipun
hanya bersebelahan ruang. Satu menit kemudian ibu kembali masuk dan bertanya
pada Ayah dengan membawa rok biru yang sudah lusuh. "Ini bisa dijadikan
celana atau tidak?" tanya Ibu. Ayah mengamati rok lusuh itu tanpa
memeganginya, "Bisa tapi lama". Kami teringat bahwa hari ini libur
terakhir bagi anak sekolah. Esok mereka sudah kembali ke sekolah untuk mencari
ilmu. "Paling mau dipakai besok. Nampaknya tidak bisa cepat. Kalau mau
menunggu ya tidak masalah. Hanya saja akan membutuhkan waktu yang lama untuk
membuka jahitannya" Ayah menambahkan. Ibu bergegas ke pintu depan dan aku
meninggalkan ruang tengah.
Dari korden yang memisahkan ruang tengah dan ruang depan dapat
dilihat seorang bertubuh kecil berdiri diambang pintu. Sepintas terpikir dalam
benak apakah mereka tidak memiliki uang untuk membeli seragam baru?. Saking
tidak punya uang mereka harus bersusah payah merombak rok menjadi celana. Ada
kemungkinan rok itu pemberian dari seorang kakak perempuan yang telah lulus dan
tidak digunakan lagi. Aku tidak sempat melihat dengan jelas wajah tamu yang
datang.
Sekembalinya dari ruang tamu, Ibu sudah memegang undangan rapat
maulid Nabi saw. Ruang tamu kosong dan pintu tertutup. Tamu telah pergi tanpa
meninggalkan apa-apa. Yang aku tahu kemudian tamu tersebut tidak jadi merubah
roknya menjadi celana karena memang tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan.
Rok yang sudah lusuh diminta oleh yang punya untuk dijadikan celana panjang
sementara Ibu tahu bahwa celana yang bisa dibuat hanya celana pendek. Tamu
memilih untuk pulang dengan tangan kosong.
Menginginkan kesejahteraan yang merata diatas tanah seluas
Indonesia memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sulit. Pemerintah
mengklaim keberhasilan pemerataan pendidikan dengan angka tetapi kita dapat
menemui anak yang tidak dapat membeli celana seragam untuk sekolah. Di
persimpangan jalan tidak jarang kita
menemui anak usia sekolah yang genjrang genjreng mengamen. Kita melihat
keterbatasan ekonomi mempersempit ruang gerak masyarakat. Usia yang seharusnya dihabiskan
anak dengan bermain di rumah bersama teman-teman atau belajar harus tergantikan
dengan aktivitas yang tidak semestinya dilakukan. Pada satu sisi anak-anak
merasa senang dengan mengamen di lampu merah dan mendapatkan uang. Disisi lain
kita mengetahui bahwa jam belajar anak menjadi lebih sedikit. Dalam gerimis
sore ini, ada anak yang terpaksa mengenakan seragam bekas yang mungkin
pemberian kakaknya.
Coba tengok rute yang biasa kau lewati jika berangkat bekerja.
Setiap hari kau melewati orang-orang yang bermacam-macam pekerjaannya, pakaiannya,
atau aksesorisnya. Tidak semuanya miskin dan tidak semuanya kaya. Ada pula yang
cukup atau terseok-seok bekerja serabutan demi makan. Sesekali pergilah ke
tempat yang jarang kau kunjungi dan amati bagaimana orang hidup dengan susah
payah. Di tempat yang minim akses, angkutan umum dapat dihitung dengan jari.
Pusat keramaian bukanlah sesuatu yang mempertontonkan transaksi kebutuhan yang
tidak penting seperti hiburan pasar malam. Mereka sudah senang dapat makan
dengan sayur dua jenis. Sebagian besar tidak bisa tidur karena bingung
bagaimana membiayai anak sekolah.
Tamu dalam gerimis yang mulai reda sudah pulang. Kembali ke
rumahnya dengan kecewa. Mungkin akan merengek dibelikan seragam baru atau tidak
peduli apa yang akan dikenakan besok.
Jika berpikir sinis kita akan acuh dan menganggap keadaan terbatas itu
akibat dari kemalasan. Orang tua yang malas bekerja dan tidak kreatif dalam
mencari nafkah. Orang tua yang terlampau tidak tahu untuk mencari beasiswa bagi
anaknya dan anggapan yang belum tentu benar untuk dilontarkan.
Namun aku tidak dapat dan tidak boleh berpikiran seperti itu. Menuduh kemalasan orang tua sebagai biang kerok dari ketiadaan seragam seorang anak. Bukankah ada tanggungjawab yang kubawa untuk membantu mereka mendapatkan hidup yang lebih baik? Ketika pertanyaan itu dilontarkan sungguh tidak ada satu katapun yang mampu keluar dari dalam hati dan mulut.
Namun aku tidak dapat dan tidak boleh berpikiran seperti itu. Menuduh kemalasan orang tua sebagai biang kerok dari ketiadaan seragam seorang anak. Bukankah ada tanggungjawab yang kubawa untuk membantu mereka mendapatkan hidup yang lebih baik? Ketika pertanyaan itu dilontarkan sungguh tidak ada satu katapun yang mampu keluar dari dalam hati dan mulut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar