Selasa, 06 Januari 2015

Sepotong Rok di Tengah Gerimis


Seorang tamu mengetuk pintu rumah tanpa mengucap salam. Hening tanpa suara apapun. Ayah, Ibu dan aku yang berpandangan untuk memutuskan siapa yang akan membuka pintu. Merasa paling dekat dengan pintu, Ibu beranjak dari tempat duduknya. Tidak ada suara yang dapat didengar dari ruang tengah meskipun hanya bersebelahan ruang. Satu menit kemudian ibu kembali masuk dan bertanya pada Ayah dengan membawa rok biru yang sudah lusuh. "Ini bisa dijadikan celana atau tidak?" tanya Ibu. Ayah mengamati rok lusuh itu tanpa memeganginya, "Bisa tapi lama". Kami teringat bahwa hari ini libur terakhir bagi anak sekolah. Esok mereka sudah kembali ke sekolah untuk mencari ilmu. "Paling mau dipakai besok. Nampaknya tidak bisa cepat. Kalau mau menunggu ya tidak masalah. Hanya saja akan membutuhkan waktu yang lama untuk membuka jahitannya" Ayah menambahkan. Ibu bergegas ke pintu depan dan aku meninggalkan ruang tengah.

Dari korden yang memisahkan ruang tengah dan ruang depan dapat dilihat seorang bertubuh kecil berdiri diambang pintu. Sepintas terpikir dalam benak apakah mereka tidak memiliki uang untuk membeli seragam baru?. Saking tidak punya uang mereka harus bersusah payah merombak rok menjadi celana. Ada kemungkinan rok itu pemberian dari seorang kakak perempuan yang telah lulus dan tidak digunakan lagi. Aku tidak sempat melihat dengan jelas wajah tamu yang datang.

Sekembalinya dari ruang tamu, Ibu sudah memegang undangan rapat maulid Nabi saw. Ruang tamu kosong dan pintu tertutup. Tamu telah pergi tanpa meninggalkan apa-apa. Yang aku tahu kemudian tamu tersebut tidak jadi merubah roknya menjadi celana karena memang tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan. Rok yang sudah lusuh diminta oleh yang punya untuk dijadikan celana panjang sementara Ibu tahu bahwa celana yang bisa dibuat hanya celana pendek. Tamu memilih untuk pulang dengan tangan kosong.    

Menginginkan kesejahteraan yang merata diatas tanah seluas Indonesia memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sulit. Pemerintah mengklaim keberhasilan pemerataan pendidikan dengan angka tetapi kita dapat menemui anak yang tidak dapat membeli celana seragam untuk sekolah. Di persimpangan jalan tidak jarang  kita menemui anak usia sekolah yang genjrang genjreng mengamen. Kita melihat keterbatasan ekonomi mempersempit ruang gerak masyarakat. Usia yang seharusnya dihabiskan anak dengan bermain di rumah bersama teman-teman atau belajar harus tergantikan dengan aktivitas yang tidak semestinya dilakukan. Pada satu sisi anak-anak merasa senang dengan mengamen di lampu merah dan mendapatkan uang. Disisi lain kita mengetahui bahwa jam belajar anak menjadi lebih sedikit. Dalam gerimis sore ini, ada anak yang terpaksa mengenakan seragam bekas yang mungkin pemberian kakaknya.

Coba tengok rute yang biasa kau lewati jika berangkat bekerja. Setiap hari kau melewati orang-orang yang bermacam-macam pekerjaannya, pakaiannya, atau aksesorisnya. Tidak semuanya miskin dan tidak semuanya kaya. Ada pula yang cukup atau terseok-seok bekerja serabutan demi makan. Sesekali pergilah ke tempat yang jarang kau kunjungi dan amati bagaimana orang hidup dengan susah payah. Di tempat yang minim akses, angkutan umum dapat dihitung dengan jari. Pusat keramaian bukanlah sesuatu yang mempertontonkan transaksi kebutuhan yang tidak penting seperti hiburan pasar malam. Mereka sudah senang dapat makan dengan sayur dua jenis. Sebagian besar tidak bisa tidur karena bingung bagaimana membiayai anak sekolah.

Tamu dalam gerimis yang mulai reda sudah pulang. Kembali ke rumahnya dengan kecewa. Mungkin akan merengek dibelikan seragam baru atau tidak peduli apa yang akan dikenakan besok.  Jika berpikir sinis kita akan acuh dan menganggap keadaan terbatas itu akibat dari kemalasan. Orang tua yang malas bekerja dan tidak kreatif dalam mencari nafkah. Orang tua yang terlampau tidak tahu untuk mencari beasiswa bagi anaknya dan anggapan yang belum tentu benar untuk dilontarkan.

Namun aku tidak dapat dan tidak boleh berpikiran seperti itu. Menuduh kemalasan orang tua sebagai biang kerok dari ketiadaan seragam seorang anak. Bukankah ada tanggungjawab yang kubawa untuk membantu mereka mendapatkan hidup yang lebih baik? Ketika pertanyaan itu dilontarkan sungguh tidak ada satu katapun yang mampu keluar dari dalam hati dan mulut.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...