Minggu, 18 Januari 2015

Assalamu'alaikum Jakarta



Assalamu'alaikum Jakarta,
Subhanallah, walhamdulillah, lailaa hailallah, Allahu akbar.

Seperti film yang diadaptasi dari sebuah novel karya Asma Nadia berjudul Assalamu'alaikum Beijing, hijrah ke ibukota bukan hal yang luar biasa karena memang sudah terbiasa bolak balik dalam berbagai urusan. Kendati demikian, novel yang sempat saya lirik dalam kamar sebelah saat kos di Sekaran belum juga dilahap habis. Tentang Jakarta, tidak lagi asing. Meski belum akrab dengan setiap sudut jalanan sempitnya. Aura dari ibukota sudah dapat diterima akal sehat dan banyak pemakluman. Untuk berapa lama? Adakah yang bisa menebak akan kemana kaki ini ditapakkan lagi setelah peristiwa demi peristiwa datang karena kehendak Nya?

Hijrah memiliki tempat tersendiri bagi setiap muslim. Nabi saw berhijrah dari kehidupan yang jahiliyah di Arab kepada nilai-nilai Islam. Kemudia beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah setelah melihat situasi yang kurang menguntungkan bagi dakwah. Sekalipun toh kembali lagi dalam sebuah kemenangan merebut Mekkah. Poin manis dari hijrah adalah adanya suatu keinginan untuk berubah lebih baik. Kita lihat, hijrah dari tanpa hijab kemudian berhijab. Kerudung kepada jilbab. Semuanya memang membutuhkan perenungan dalam proses menemukan keputusan untuk hijrah. Ada yang harus melewati ujian berat, ada pula yang cukup menimbang untung rugi dari hidup yang memilih untuk menetap. Hijrah dalam sesi hidup kali ini, memiliki harapan yang lebih dari sekadar berubah dalam rupa fisik melainkan juga psikis yang lebih baik dalam pandangan Nya.

Di sudut ruang ada satu perenungan untuk yang ditinggalkan seperti keluarga dan teman di rumah. Keluarga yang harus kembali berjauhan dengan anak. Teman yang bersliweran dalam keseharian. Sisi melankolis begitu saja meluap. Mendadak sedih dan bahagia dalam satu waktu. Semarang yang sudah 5 kali putaran bumi mengelilingi matahari didiami harus ditinggalkan pula. Momentum mencari hidayah, ilmu, pengalaman dan teman di kota Atlas sudah jadi kenangan yang sungguh masih hidup sampai detik ini. Dengan durasi yang cukup lama itu, agaknya jutaan pemikiran telah tertuang dalam kolong langitnya. Kini tinggal aksi untuk membuktikan pemikiran sederhana ala mahasiswa.

Inilah hidup. Disini saya menghirup udara, makan dengan lahapnya, berangkat pagi-pagi buta dan layaknya orang lain yang sama-sama merantau, kami harus bersikap sebaik-baik perantau. Beriktikad untuk menabung, membeli buku-buku baru, mengirimi orang tua sepersekian gaji atau menikmati masa-masa kerja. Mencintai setiap hal yang berada di Jakarta memang membutuhkan waktu. Apalagi Semarang begitu indah untuk urusan apapun. Dari sini dan hari ini, akan selalu ada harapan untuk hidup yang lebih baik dan bijak.

Tentang cinta, dalam kardus kecil itu semua harap dan khilaf telah tersimpan. Semuanya telah ditutup untuk mengakhiri masa-masa menjengkelkan. Saya pikir, it's just the beginning, this isn't the end. Saya mengakhirinya untuk memulai bagian yang lebih dewasa dan bijaksana.

Menanti adzan 'Isya
@Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...