Sabtu, 03 Januari 2015

Reuni



Seorang teman lama berbicara banyak hal mengenai teman-teman yang lain. Si A menikah dengan si B. Si C sudah memiliki anak dan sibuk ini itu. Sebagai orang yang selalu dirumah, ia sudah menyapa setiap orang yang lewat diberandanya. Sesekali bergurau dengan mereka sepatah dua patah kalimat.

Kata orang watak sulit diubah meski sudah bertahun-tahun berpisah, mengalami banyak peristiwa hidup dan bertemu dengan banyak pribadi berbeda. Ia dengan wajah yang tidak berubah drastis tetap sama ketika mulai jarang terlihat 10 tahun yang lalu.

Senyum yang sama, gesture yang khas, pandangan dan pemikiran yang berpondasi serupa dan sifat yang itu-itu juga sejak seragam merah putih kutanggalkan. Mendengarkan ceritanya, sejanak aku berpikir "selama ini tidak banyak orang yang kau ajak bicara sebanyak dan seleluasa itu". Aku tidak peduli kalimat mana yang benar karena melihatmu berbicara dengan gembira, aku pikir sudah cukup.

Dari banyak tema yang aku dengarkan tiba-tiba kau mengutarakan sesuatu yang membuatku merenung. Ditengah pembicaraan orang tentangku kau berujar "tidak mungkin dia seperti itu. Selama target yang ia miliki belum tercapai, dia tidak akan berhenti". Ia menggombal dengan lancar. Entah itu tulus atau sedikit melebih-lebihkan. Dalam perjalanan pulang aku sadar dengan pernyataannya yang mendadak tersebut. Pekerjaan, pendidikan, dan relasi masih harus diusahakan untuk hidup yang lebih baik. Itu kusebut dengan impian, harapan, cita-cita atau keinginan sederhana yang akan membekali diri selama berpuluh-puluh tahun lagi. Ya. Ada ratusan impian yang bermekaran dalam diri. Selalu merengek untuk dipetik.

Temanku yang sudah menggendong anak berusia 2 tahun mungkin tengah sepenuhnya menggombal atau refleks memberikan tanggapan. Tetapi perenungan yang berawal dari ucapannya semoga benar. Untuk selalu memulai hari dengan semangat baru demi mewujudkan narasi besar dalam satu kali periode hidup.

Dulu kita seringkali berbeda pola pikir. Aku pikir begini, kau pikir begitu. Sampai hari ini pun peluang tersebut akan tetap sama. Apakah penting memikirkannya? Bukankah semakin dewasa kita menjadi semakin pragmatis? Ah, mana sempat kau berpikir soal pragmatisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...