Seorang teman lama
berbicara banyak hal mengenai teman-teman yang lain. Si A menikah dengan si B.
Si C sudah memiliki anak dan sibuk ini itu. Sebagai orang yang selalu dirumah,
ia sudah menyapa setiap orang yang lewat diberandanya. Sesekali bergurau dengan
mereka sepatah dua patah kalimat.
Kata orang watak sulit
diubah meski sudah bertahun-tahun berpisah, mengalami banyak peristiwa hidup
dan bertemu dengan banyak pribadi berbeda. Ia dengan wajah yang tidak berubah
drastis tetap sama ketika mulai jarang terlihat 10 tahun yang lalu.
Senyum yang sama,
gesture yang khas, pandangan dan pemikiran yang berpondasi serupa dan sifat
yang itu-itu juga sejak seragam merah putih kutanggalkan. Mendengarkan
ceritanya, sejanak aku berpikir "selama ini tidak banyak orang yang kau
ajak bicara sebanyak dan seleluasa itu". Aku tidak peduli kalimat mana
yang benar karena melihatmu berbicara dengan gembira, aku pikir sudah cukup.
Dari banyak tema yang
aku dengarkan tiba-tiba kau mengutarakan sesuatu yang membuatku merenung.
Ditengah pembicaraan orang tentangku kau berujar "tidak mungkin dia
seperti itu. Selama target yang ia miliki belum tercapai, dia tidak akan
berhenti". Ia menggombal dengan lancar. Entah itu tulus atau sedikit
melebih-lebihkan. Dalam perjalanan pulang aku sadar dengan pernyataannya yang
mendadak tersebut. Pekerjaan, pendidikan, dan relasi masih harus diusahakan
untuk hidup yang lebih baik. Itu kusebut dengan impian, harapan, cita-cita atau
keinginan sederhana yang akan membekali diri selama berpuluh-puluh tahun lagi.
Ya. Ada ratusan impian yang bermekaran dalam diri. Selalu merengek untuk
dipetik.
Temanku yang sudah
menggendong anak berusia 2 tahun mungkin tengah sepenuhnya menggombal atau
refleks memberikan tanggapan. Tetapi perenungan yang berawal dari ucapannya
semoga benar. Untuk selalu memulai hari dengan semangat baru demi mewujudkan
narasi besar dalam satu kali periode hidup.
Dulu kita seringkali
berbeda pola pikir. Aku pikir begini, kau pikir begitu. Sampai hari ini pun
peluang tersebut akan tetap sama. Apakah penting memikirkannya? Bukankah
semakin dewasa kita menjadi semakin pragmatis? Ah, mana sempat kau berpikir
soal pragmatisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar