Ketika
membaca biografi Soekarno mata terhenti pada bahasan agama dan kebanggaan umat
terhadap agamanya. Isinya tentang perenungan Bung Karno saat dalam penjara
Sukamiskin dan Banceuy Bandung. Bung Karno merenungkan soal kegiatan keagamaan
tahanan nasrani yang begitu dilayani oleh para pendeta dan ulamanya. Di suppport dengan berbagai buku keagamaan,
diberikan jam konsultasi, mengisi gereja dengan berbagai aktivitas.
Ia
melihat bahwa tahanan muslim hanya di imami shalat jumat oleh imam kampung
sebelah dengan penampilan yang katanya mirip teroris. Bagaimana tahanan akan
berubah atau bertobat jika pemenuhan kebutuhan rohani apa adanya dan tidak di
fasilitasi. Sebagai muslim, Bung Karno merasa ciut dengan perjuangan para ulama
nasrani tersebut. Ia merasa bahwa umat muslim belumlah sekokoh itu dalam
menguatkan saudara semuslimnya yang berada dalam tahanan. Padahal dari
tahananlah, menurut Bung Karno manusia baru bisa dilahirkan kembali.
Kita
sendiri seringkali merasa enggan untuk menunjukkan keIslaman kita di depan
publik. Kurang pede untuk menunjukkan identitas agama kita di tempat kerja.
Lantas kita hendak menyalahkan siapa jika misionaris berhasil memurtadkan
banyak saudara kita? Mereka diiming-imingi dengan mie instan, biaya pendidikan,
fasilitas kesehatan dsb. Dimana kita saat saudara kita kelaparan di siang hari
nan terik? Dimana kita saat saudara kita merasa putus asa dengan hidup
sementara kita bingung hendak menghabiskan uang dengan cara apa?
Memang
menjadi keberuntungan tersendiri jika kita terlahir dalam keluarga muslim
karena ada banyak saudara kita yang lahir dari orang tua beda agama. Ada pula
mereka yang beruntung terlahir dari keluarga muslim tetapi miskin akan
pendidikan agama dari keluarga. Anak-anak yang miskin pengetahuan agama akan
kesulitan dalam menjalani hidup. Apapun alasan yang melatarbelakanginya.
Seorang
teman menuturkan bahwa ia berasal dari orang tua yang beda agama. Ayahnya
seorang muslim dan Ibunya nasrani. Sebagian dari saudaranya pun banyak yang
nasrani.
Dalam
sebuah ujian praktik shalat di sekolahnya teman saya mendapat giliran praktik
shalat shubuh. Sang guru tiba-tiba menanyakan “Orang tuamu ada yang non muslim
ya?”, “Kok Bapak tahu?”, “Ibu?”. Teman saya hanya menganggukan kepala.
“Pendidikan agama itu dasarnya dari Ibu”.
Disadarinya
bahwa pengetahuan agama yang dimiliki sebatas pengetahuan formal yang ia dapat
dari sekolah. Tidak ada yang mengajarinya puasa, shalat, bahkan ayahnya tidak
ambil pusing soal itu. Setelah masuk perguruan tinggi ia mendapatkan pacar yang
tahu tentang agama dan sabar mengajarinya dari nol. Perlahan ia puasa, shalat
dan tahu banyak tentang fiqh. Harapannya kini, semoga ibunya masuk Islam.
Aamiin
Menjaga
Islam dalam diri dan saudara kita memang sudah menjadi suatu keharusan bagi
setiap insan. kita menjaga orangtua kita, anak kita, saudara, pasangan, teman,
rekan kerja dan sebagainya. Menjaga dari yang paling dekat dengan kita kemudian
berangsur kepada mereka yang diluar sana. Kebanggaan menampakkan identitas
kemusliman kita bersama keluarga dan sahabat adalah hal yang akan mengibarkan
bendera Islam diatas bumi Nya.
Jika
kita menjaga Nya, Allah akan menjaga kita jauh lebih baik dari yang disangkakan.. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar