Minggu, 20 Juli 2014

Karena Kita Tetap Berbeda


Ketika membaca biografi Soekarno mata terhenti pada bahasan agama dan kebanggaan umat terhadap agamanya. Isinya tentang perenungan Bung Karno saat dalam penjara Sukamiskin dan Banceuy Bandung. Bung Karno merenungkan soal kegiatan keagamaan tahanan nasrani yang begitu dilayani oleh para pendeta dan ulamanya. Di suppport dengan berbagai buku keagamaan, diberikan jam konsultasi, mengisi gereja dengan berbagai aktivitas.
Ia melihat bahwa tahanan muslim hanya di imami shalat jumat oleh imam kampung sebelah dengan penampilan yang katanya mirip teroris. Bagaimana tahanan akan berubah atau bertobat jika pemenuhan kebutuhan rohani apa adanya dan tidak di fasilitasi. Sebagai muslim, Bung Karno merasa ciut dengan perjuangan para ulama nasrani tersebut. Ia merasa bahwa umat muslim belumlah sekokoh itu dalam menguatkan saudara semuslimnya yang berada dalam tahanan. Padahal dari tahananlah, menurut Bung Karno manusia baru bisa dilahirkan kembali.
Kita sendiri seringkali merasa enggan untuk menunjukkan keIslaman kita di depan publik. Kurang pede untuk menunjukkan identitas agama kita di tempat kerja. Lantas kita hendak menyalahkan siapa jika misionaris berhasil memurtadkan banyak saudara kita? Mereka diiming-imingi dengan mie instan, biaya pendidikan, fasilitas kesehatan dsb. Dimana kita saat saudara kita kelaparan di siang hari nan terik? Dimana kita saat saudara kita merasa putus asa dengan hidup sementara kita bingung hendak menghabiskan uang dengan cara apa?
Memang menjadi keberuntungan tersendiri jika kita terlahir dalam keluarga muslim karena ada banyak saudara kita yang lahir dari orang tua beda agama. Ada pula mereka yang beruntung terlahir dari keluarga muslim tetapi miskin akan pendidikan agama dari keluarga. Anak-anak yang miskin pengetahuan agama akan kesulitan dalam menjalani hidup. Apapun alasan yang melatarbelakanginya.
Seorang teman menuturkan bahwa ia berasal dari orang tua yang beda agama. Ayahnya seorang muslim dan Ibunya nasrani. Sebagian dari saudaranya pun banyak yang nasrani.
Dalam sebuah ujian praktik shalat di sekolahnya teman saya mendapat giliran praktik shalat shubuh. Sang guru tiba-tiba menanyakan “Orang tuamu ada yang non muslim ya?”, “Kok Bapak tahu?”, “Ibu?”. Teman saya hanya menganggukan kepala. “Pendidikan agama itu dasarnya dari Ibu”.
Disadarinya bahwa pengetahuan agama yang dimiliki sebatas pengetahuan formal yang ia dapat dari sekolah. Tidak ada yang mengajarinya puasa, shalat, bahkan ayahnya tidak ambil pusing soal itu. Setelah masuk perguruan tinggi ia mendapatkan pacar yang tahu tentang agama dan sabar mengajarinya dari nol. Perlahan ia puasa, shalat dan tahu banyak tentang fiqh. Harapannya kini, semoga ibunya masuk Islam. Aamiin
Menjaga Islam dalam diri dan saudara kita memang sudah menjadi suatu keharusan bagi setiap insan. kita menjaga orangtua kita, anak kita, saudara, pasangan, teman, rekan kerja dan sebagainya. Menjaga dari yang paling dekat dengan kita kemudian berangsur kepada mereka yang diluar sana. Kebanggaan menampakkan identitas kemusliman kita bersama keluarga dan sahabat adalah hal yang akan mengibarkan bendera Islam diatas bumi Nya.
Jika kita menjaga Nya, Allah akan menjaga kita jauh lebih baik dari yang disangkakan.. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...