Selasa, 06 Maret 2018

Geliat Kota Pelabuhan (*Masa Lampau)

Hari ini saya mengunjungi Museum Kebaharian untuk pertama kalinya. Terletak di kawasan Penjaringan Jakarta Utara, museum ini benar-benar berada disepanjang aliran sungai Ciliwung. Jika menggunakan Transjakarta atau Comuter Line kita dapat berhenti di Halte/Stasiun Kota. Baru kemudian bisa menggunakan armada online agar lebih efisien. Lazimnya museum yang terletak di kawasan teluk, nuansa kapal dan aktivitas pergudangan begitu kental disekitaran sini.

Gedung utama terletak terpisah dari menara syahbandar tempat saya turun. Setelah bertanya kepada petugas, saya cukup berjalan kaki dari menara tersebut. Ada kesedihan yang tiba-tiba mencuat dalam hati begitu memasuki lobby gedung. Bangunan eropa yang dibangun 1700an ini sudah di rehab sedemikian modern sehingga tetap mentereng disebelah Ciliwung. Namun sepiiiiii. Pengunjung yang ada saat itu entah ada atau tidak. Saya mengisi buku tamu dan nampaknya hari itu pengunjungnya sedikit. Mungkin karena weekdays dan tengah hari yang panas dan menyengat. Petugas bersliweran santai sambil menikmati istirahat siang.

Saya memulai rute pertama dari spot terdekat ticket box. Ruangan yang mungkin berukuran serupa aula tersebut memajang replika kapal dari seantero negeri. Dari Indonesia bagian barat hingga timur memiliki armada laut yang terlihat kokoh. Batavia yang menjadi primadona pelabuhan teramai di Indonesia pada masanya mendominasi koleksi ruangan tersebut. Makassar atau nama lamanya Ujung Pandang menjadi kota pelabuhan tersibuk, termegah dan teramai di Indonesia bagian timur bahkan sampai sekarang. Koleksi kapal dari Makassar cukup beragam dan terdapat informasi yang cukup menambah wawasan. Di ruangan lain masih di lantai 1, kita disuguhi informasi maket kota pelabuhan dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Seharusnya suasana museum yang minim pengunjung bisa menambah kekhusyukan kunjungan. Namun ini sungguh-sungguh sepi. Ketika saya berjalan keluar ruangan kedua, ada sepasang turis mancanegara asyik berswafoto diantara perahu-perahu yang lebih modern.

Kebakaran yang terjadi sebulan lalu masih terlihat di sudut komplek museum. Puing hitam yang tidak dapat ditutupi dan masih dalam tahap renovasi bisa dilihat dari lantai 1. Waktu itu sirine damkar nyaring terdengar dan saya sedang berada di Pademangan. Cukup dekat dan merasakan beberapa mobil damkar sibuk mengejar waktu. Banyak traveller dan penikmat museum menyayangkan insiden kebakaran tersebut dan berharap pengelola dapat merenovasi gedung yang terbakar.

Di lantai 2 kita dimanjakan dengan diorama tokoh dunia yang sempat menorehkan kisah di Batavia. Sebut saja Fatahillah, Ibnu Batutah, Fa Hien, Hitoshi Imamura, Vasco d Gama dan Lancester yang tidak asing ditelinga kita. Andai waktunya cukup, satu per satu biografi singkat dari beberapa tokoh tersebut mau saya baca. Apa daya, waktu yang terbatas membuat saya harus menikmati diorama tersebut sekilas lalu. Disebelah ruang diorama kita dapat menikmati koleksi perpustakaan Museum Kebaharian. Genrenya tidak melulu soal kapal dan laut. Kita dapat menemukan majalah, peta perang jaman dahulu, ensiklopedi, dan album kegiatan yang diadakan pengelola museum. Saya merasakan desain ala Jepang didalam perpustakaan meskipun hanya ornamen sekat kayu yang dibuat kotak-kotak dan keseluruhan furniture memang dari kayu yang menambah kesan natural.

Gedung tengah museum digunakan sebagai aula dan kantin. Lalu jika kita melewatinya masih ada gedung yang menampilkan koleksi lain museum. Disini kita bisa melihat biota laut yang diawetkan dan beberapa gerabah dalam lemari kaca. Tidak banyak memang tapi cukup memenuhi ruangan dan lemari kaca.

Dari lokal utama museum saya beranjak ke menara syahbandar untuk naik dan melihat sekeliling teluk. Nuansanya begitu chineese dengan cat merah dan hijau mendominasi tangga dan jendela. Naik ke menara yang tidak terlalu tinggi ternyata membutuhkan energi yang cukup banyak. Selain cuaca yang cerah lewat jam makan siang dan sejam lebih berkeliling museum membuat saya kehabisan energi. Sampai di puncak menara angin langsung menyirnakan letih saya. Bising kendaraan berat, pemandangan teluk Jakarta, dan lelah memgaburkan kondisi saya yang seorang diri diatas menara. Sejauh ini saya menikmati perjalanan ke Museum Kebaharian. Pengelola menyambut tamu dengan baik, dilayani dengan ramah dan sempat menghadiahi saya peta wisata Jakarta.

Terimakasih 🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...