Sabtu, 17 Maret 2018

Memahami Komitmen dan Konsekuensi

Perang dingin seorang artis dengan kekasih mantan suaminya begitu menggelitik logika saya. Perceraiannya telah lama terjadi dan dia memiliki seorang anak. Artis ini berkata hubunganya dengan anak dan mantan suaminya baik-baik saja. Anehnya ketika ditanya adakah peluang untuk rujuk, dia tegas menjawab tidak mau. Bagaimana sebuah pernikahan diakhiri jika suami dam istri baik-baik saja? Orang bisa merespon dengan kasarnya "Trus ngapain cerai kalau kamu ngaku baik-baik saja dengan anak dan suamimu?".

Mamah Dedeh tegas mengatakan di tausiyahnya kemarin pagi kalau Allah sangat benci dengan perceraian meskipun halal. Kondisi rumah tangga yang tidak pernah sepi oleh ujian sudah sewajarnya dipertahankan. Kecuali jika perangai pasangan kita sudah tidak bisa ditolerir lagi dan tidak ada diskusi yang bisa dilakukan. Kita benar harus memikirkan bagaimana resiko yang akan kita tanggung pasca perceraian sekecil apapun dan sesiap apapun kita.

As we know, pernikahan adalah komitmen dua orang untuk hidup bersama. Bahkan yang lebih ekstrem pernikahan dua keluarga, dua budaya, hingga dua negara. Konsekuensi dari pernikahan bermacam-macam mulai dari adaptasi karakter pasangan, pekerjaan, kehidupan sosial, parenting dan sebagainya. Ujian sehari-harinya akan sangat melelahkan karena itu akan memakan waktu seumur hidup kita. Pentingnya memahami komitmen dalam pernikahan sudah harus dipahami mereka yang memutuskan untuk menikah. Debat, perbedaan selera makanan, prioritas dalam hidup, hingga pertengkaran yang kadang diwarnai KDRT adalah konsekuensi logis dari pernikahan. Perubahan pasti terjadi usai menikah. Baik dialami istri maupun suami atau keduanya. Ada istri yang memutuskan berhenti bekerja, pindah tempat tinggal diluar kota bahkan luar negeri karena ikut suami, dan pekerjaan yang bisa saja berganti disuatu saat. Status baru secara otomatis melahirkan peran dan tanggungjawab baru. Hal tersebut begitu terasa setelah kehadiran anak dalam rumah tangga. Siapapun yang akan menikah dan menikah mau tidak mau harus memikirkannya.

Semua komitmen dalam hidup melahirkan suatu konsekuensi termasuk pernikahan. Sayangnya kita tidak bisa memilih konsekuensi yang muncul apabila kita menikah. Siap atau tidak siap, kita hanya harus menghadapinya. Percerain menjadi salah satu konsekuensi yang tidak pernah diharapkan. Saya yakin mereka yang bercerai telah melalui berbagai diskusi dan mediasi yang panjang. Yang perlu saya tekankan disini adalah bagaimana untuk menyadari perubahan status dari istri ke mantan istri. Sederhananya, ketika memutuskan untuk bercerai sadarilah bahwa urusanmu dengannya berakhir. Apapun itu. Apabila kita sebagai ibu dari seorang anak, pikirkanlah baik-baik sebelum bercerai soal biaya hidup anak, pendidikan dan masa depan. Karena sekalipun dibenarkan dalam agama untuk meminta nafkah anak dari mantan suami, rentan sekali timbul fitnah. Fitnah yang bagaimana? Respon keluarga mantan suami yang tidak tertebak atau pasangan mantan suami/istri yang memiliki perasaan untuk dijaga. Bukankah kita disarankan untuk menjaga perasaan pasangan kita daripada mantan pasangan?

Hidup selalu penuh resiko. Apakah kita siap menghadapi resiko dari sebuah pernikahan? Kita seringkali memaksa takdir segera terjadi "Aku ingin menikah, buruan nikahin aku". Namun kita seringkali lupa bahwa ada hal-hal yang akan kita hadapi setelah menikah. Kita akan diributkan soal tarif listrik, cicilan rumah, biaya sekolah anak, dan menunda kesenangan pribadi seperti travelling. Apakah kita siap menghadapi resiko perceraian? Kita pun seringkali tidak sabar, "Saya sudah tidak tahan, keputusan saya sudah bulat untuk cerai". Lalu kita kolaps setelah perceraian terjadi.

Hei perempuan, jika ingin menikah maka bersiaplah untuk menghadapi kemungkinan seperti berkurangnya waktu hange out dengan teman-teman, lelahnya bekerja seharian ditambah pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah habis, suami yang harus dilayani, kebutuhan sehari-hari, iuran-iuran RT serta sumbangan masjid. Yang paling buruk dari itu semua adalah perceraian yang berakibat bagi pasangan dan anak. Siap menikah? Luruskan niat, mintalah kekuatan agar benar-benar siap dengan dinamika rumah tangga.

Hei perempuan, jika ingin bercerai maka bersiaplah untuk menghadapi kemungkinan seperti kembali bekerja demi menghidupi anak, menyandang gelar janda dengan stigma yang berkembang di masyarakat, tidak bebas bertemu dengan anak, krisis kepercayaan diri dan disorientasi dalam perceraian yang tidak diinginkan tapi harus terjadi, dan yang paling penting adalah tidak tergantung pada mantan suami soal nafkah anak. Apakah yakin tetap bercerai? Jika satu-satunya jalan, mudah-mudahan ada jalan dan petunjuk untuk hidup yang lebih baik.

Dari kisah artis yang sudah saya sebutkan sebelumnya saya masih menganggap aneh soal "Saya Ibunya, gak ada yang bisa melarang saya bertemu anak saya". Kalau boleh memberi saran, saya akan berkata "Jangan bercerai jika tidak pernah merasa siap untuk jarang bertemu dengan anak. Jangan bercerai jika masih baik-baik saja dengan mantan pasangan". Kalau kepentingan anak kalah dengan ego kita sebagai orang dewasa, maka kita belum siap menjadi orang tua. Kita merasa tidak cocok dengan pasangan, lalu bercerai kemudian terjadilah drama-drama hak asuh anak. Bahkan perceraian baik-baik pun tetap menimbulkan trauma tersendiri bagi anak dalam memaknai kehidupan. Sekalipun ada masanya pernikahan mengalami masa-masa gelap, pikirkanlah bahwa ada tanggungjawab dari Tuhan berupa anak yang bisa jadi menyelamatkan pernikahan dari resiko perceraian. Libatkan Tuhan dan bijaklah.

*Catatan ini ditulis oleh perempuan yang belum menikah dan belum punya anak. Wawasan, pengalaman, dan pengetahuan yang ada tentu sangat terbatas. Namun tidak menyurutkan niat saya untuk menyuarakan argumen pribadi saya. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan 🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...