Selasa, 27 Maret 2018

Selftalk dan Me Time

Buku bersampul cokelat manis itu menarik perhatian saya. Di sebuah rak buku keponakan yang sudah bertahun-tahun saya letakkan disitu. Dibeli Desember 2009 silam, saya sudah lupa isinya apa. Bab terakhir dari buku tersebut berjudul "Pulang". Sejenak saya intip dan baca biografi penulisnya kemudian saya letakkan kembali.

Sampul buku itu menarik perhatian saya lagi setelah maghrib. Ada gambar seorang lelaki tua mengayuh sepeda dengan keranjang dibelakangnya. Ingatan saya langsung terbuka ke masa SMP dan SMA dimana setiap hari saya naik sepeda ke sekolah. Berangkat sekitar jam 6 pagi membuat saya bisa menghindari kemacetan dan udara panas. Cuaca yang sejuk dan segar begitu menyenangkan. Ditambah dengan pemandangan sawah dan orang yang beraktivitas di pagi hari membuat momen berangkat sekolah menjadi sibuk. Bila saya pulang sore selalu ada semilir angin yang menghilangkan penat. Ada orang-orang yang pulang kerja atau pulang membawa aneka macam hasil berkebun disawah. Sesekali matahari menggantung di ujung barat jika saya pulang terlalu sore. Meskipun berkeringat sesampainya di sekolah atau di rumah, ternyata bersepeda juga mengurangi kepenatan. Selama 30-45 menit durasi perjalanan dari rumah ke sekolah, saya bisa berbicara dengan diri saya sendiri. Selftalk (*berbicara kepada diri sendiri) mengenai pelajaran yang menyenangkan, guru-guru yang kurang kompeten (*eh), rencana hidup ke depan, masalah dengan teman, dan apapun yang sedang dihadapi.

Anak muda jaman now menyebutnya 'me time'. Dimana kita menikmati waktu yang ada seorang diri. Hanya sendiri. Me time bisa berupa aktivitas seperti membaca, olahraga, merawat diri, melakukan perjalanan, atau pergi ke suatu tempat. Mungkin karena terbiasa berangkat dan pulang sekolah sendiri, sampai sekarang agak canggung jika bepergian dengan teman. Saya bisa menulis di dalam bus, diatas kapal, atau di kereta jika bepergian sendiri. Kalau bepergian dengan teman, biasanya sharing soal hidup dan kehidupan sambil curhat. Meskipun sama menyenangkannya jika bepergian dengan teman, saya lebih sering me time dalam perjalanan seorang diri.

Selftalk dan me time menjadi kebutuhan yang (*saya pikir) harus dipenuhi. Selftalk membuat kita mampu mengurai setiap persoalan dengan lebih baik. Kita memikirkan baik buruk sikap yang akan diambil. Dengan demikian, kita tidak tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu dan sudah sesuai dengan keadaan kita. Me time membuat kita rehat sejenak dari hiruk pikuk hubungan interpersonal. Kadang jiwa kita pun bisa lelah setiap hari menghadapi beraneka rupa karakter orang di sekitar. Kita menikmati aktivitas untuk diri kita sendiri dimana kita sudah seharian disibukkan dengan pekerjaan yang menguras energi dan orang-orang yang nano nano.

Sampul cokelat itu mengingatkan saya yang sudah lama tidak naik sepeda. Hampir 10 tahun yang lalu sejak lulus SMA saya sudah tidak naik sepeda. Saya lupa rasanya berkeringat, ngos-ngosan, memompa ban yang kempes atau mendorongnya ketika menaiki tanjakan yang agak tinggi. Selftalk dan me time diganti dengan perjalanan di bus yang menghabiskan waktu berjam-jam.

Apakah hari ini lebih menyenangkan? Tentunya semua hal ada masanya. Semakin beranjak usia, semakin mengerti betapa hidup adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti salmon yang diceritakan Raditya Dika. Mereka berpindah untuk bertahan hidup. Dari bersepeda lalu naik bus, itu juga perpindahan dalam rangka bertahan hidup.

Akan kemana hidup membawa saya? Biar Tuhan tunjukkan jalannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...