Sabtu, 03 Maret 2018

Seperti Katak dalam Tempurung

Dalam sebuah obrolan santai di kantor.. 🏢

Seorang perempuan usia 30an bercerita tentang pengalaman mengajarnya sebelum menekuni dunia accounting. Ia sempat mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar selama beberapa waktu. Pengalaman mengajarnya sehari-hari membuatnya berpikir panjang dan keras untuk keluar dari dunia pendidikan. Pergaulan yang (*menurutnya) terbatas dengan murid dan wali murid seolah mengurungnya dalam pergaulan yang sempit. Ia tidak dapat bergaul dengan orang dari beragam status sosial, karakter dan latar belakang. Bagaimana ia bisa memiliki pergaulan yang luas jika hanya mengajar di bimbel atau les privat. Memikirkan kebutuhan untuk bersosialisasi, akhirnya ia memutuskan untuk bekerja dibagian accounting sebuah perusahaan.

Semakin bertambah usia seseorang, kebutuhannya bertambah tetapi esensinya menjadi lebih sederhana dan realistis. Pernikahan, keluarga, pekerjaan, tempat tinggal adalah hal-hal yang sudah tidak perlu dipusingkan diusia kepala 3. Kita tidak lagi berkompromi apakah saya bisa membeli rumah? Apakah saya bisa menikah dalam waktu dekat? Apakah saya bisa bekerja di kantor ini sampai usia saya diatas 60? Perlahan, keinginan dalam hidup yang digagas diusia 20an menemukan jalan realisasinya sendiri. Hal absurd masa muda memasuki waktu kadaluarsanya. Diusia 30an, seseorang sudah tidak banyak protes soal kriteria pekerjaan atau pasangan. Jika bisa menjalaninya kenapa tidak dijalani? Sebuah artikel yang membahas pernikahan menyebutkan bahwa "tidak peduli apakah sekarang saya dan dia begitu berbeda dalam hal gaji, karakter, pemikiran dsb, selama ada komitmen untuk hidup berdua maka apa yang disebut similarity effect akan menemukan jalannya sendiri. Hal ini (*similarity effect) adakalanya tidak didapat diawal pernikahan. Kadangkala setelah puluhan tahun menikah, barulah mencapai similarity effect. Jadi memaksakan keadaan untuk stabil saat memulai bahtera rumah tangga adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak realistis".

Setiap orang pastilah memiliki motivasi eksternal yang berbeda satu dengan yang lain. Orangtua, pasangan, menjadi significant others yang membuat kita bertahan dalam sebuah pekerjaan. Kita membutuhkan mereka seperti mereka membutuhkan kita. Perempuan yang menganggap bahwa mengajar membatasinya dalam pergaulan mungkin tidak selamanya benar. Banyak diantara teman perempuan saya yang mengajar di SD, SMP, SMA tetap bisa berhubungan dengan dunia luar. Bahkan lebih luas pergaulan mereka ketimbang saya yang dulunya aktivis BEM. Mereka memiliki teman dari berbagai kalangan dan latarbelakang. Mereka memiliki orang-orang yang diperjuangkan dalam hidup dan mereka tidak membutuhkan semua orang untuk membuat mereka bahagia. Saya tidak menyalahkan teman saya, sama sekali tidak. Hanya saja saya memiliki pemikiran yang berbeda darinya.

Lalu, apakah yang membuat kita seolah seperti katak dalam tempurung? Bukan pekerjaan. Pekerjaan tidak pernah mengurung kita. Pikiranlah yang membatasi kita. Apabila pekerjaan menghalangi pergaulan kita, tengoklah ada berapa teman kita yang mengajar lalu menikah dengan tentara, polisi, pengusaha, dokter. Tengoklah berapa banyak kenalan kita yang kemudian pindah ke Aceh, Sulawesi, Maluku hingga luar negeri demi mengikuti pasangan mereka. Seorang ibu rumah tangga pun bisa bergaul dengan banyak kalangan andaikan ia mau mengeksplor kemampuan diri. Alternatif pilihannya adalah mengikuti komunitas hobi (*memasak, merajut, membuat barang kerajinan), bergabung d LSM, menjadi relawan atau aktif dikegiatan PKK. Apakah itu bukan pergaulan yang lebih luas dan tidak berkelas? Toh mereka bukan sembarangan orang yang tidak berprestasi, melakukan hal buruk dan merugikan orang lain. Kita punya pilihan selama kita mau membuka mata.

Kemudian saya melihat diri sendiri dan merenungi satu demi satu pilihan hidup saya. Semuanya memiliki resiko yang bervariasi. Begitupun ketika saya melihat teman-teman yang tetap tangguh dengan pilihan mereka. Ketika diri kita terbuka dengan hubungan antar personal, rasanya kita tidak memerlukan semua orang agar kita merasa bahagia. Berteman dengan siapapun akan membantu kita menemukan orang yang tepat. Dari semua teman yang ada, kita bisa memilih mana-mana yang mengajak kita kepada kebaikan dan manfaat.

Sekali lagi,
Kita tidak perlu bergaul dengan semua orang dan kalangan untuk membuat kita eksis dan bahagia. Tuntutan seperti itu justru mengekang kita untuk tidak puas/kurang bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang karena kita selalu mencari dan mencari. Padahal kebahagiaan itu ada dalam diri kita dan disekeliling kita.

Be well 🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...