Sabtu, 02 Juni 2018

Hadiah yang Tidak Layak

Diangkot, jelang maghrib. Buka puasa ditengah himpitan penuh sesak penumpang yang semuanya puasa. Banyak yang membatalkan puasa mereka dengan air putih. Menikmati perjalanan dengan diam.

Dua orang ibu tampak asyik berbincang soal pekerjaan. Mau tidak mau telinga saya mendengar pembicaraan mereka yang tepat di sebelah saya. Yang 1 nampaknya mengajar di sebuah sekolah bersama anaknya yang baru masuk sekolah setelah libur awal puasa. Tadinya saya tidak menyimak dengan cermat. Lama kelamaan ada yang menggelitik diantara mereka berdua. Si Ibu guru nyaring mengatakan bahwa setiap akhir semester ia selalu menerima bingkisan dari orangtua murid berupa tas, pakaian, sepatu, atau barang bermerk lainnya.

Seolah ada yang meninju perut saya. Mengapa saya begitu marah? Ibu guru itu tidak melakukan sesuatu yang salah kepada saya. Mengapa saya merasa terluka? Hal ini sangat subyektif. Saya tidak bisa mendengar hal semacam itu. Teman-teman mengajar saya di Ende hanya menerima 50 ribu per bulan yang diterima setiap 3 bulan sekali. Sementara ibu guru tersebut bahkan setiap 6 bulan sekali menerima hadiah-hadiah yang belum tentu menandakan keberhasilan mengajarnya.

Ah Jilvia, kamu tidak berada di tengah situasi ibu guru itu. Bagaimana perjuangannya mengajar dari tahun ke tahun tanpa gaji yang memadai untuk hidup di kota. Kamu belum merasakan untuk berangkat ke sekolah tiap hari harus menghabiskan 50 ribu rupiah. Apalagi dengan kesibukan mengurus anak dan suami serta memenuhi kebutuhan mereka. Kamu tidak pernah berada disituasi tersebut. Kamu marah untuk apa? Idealisme yang tidak pernah mau kamu kompromikan? Pengorbanan yang tidak pernah mau kamu lakukan untuk mencurahkan cinta dan karyamu kepada muridmu di sekolah. Lalu kamu marah akan hadiah yang tidak pernah diminta guru tersebut? Bukankah itu tidak adil?

Mereka tidak SEMURAHAN itu. Yang mudah dibeli dengan tas, sepatu dan barang bermerk lainnya. Namun dari lubuk hati yang tidak pernah berdusta ada tangis yang tiba-tiba pecah. Rasanya budaya itu bukan hal yang benar untuk dilestarikan. Bagaimana dengan keberhasilan mengajar mereka? Apakah anak didik mereka tumbuh dan berkembang dengan baik di sekolah? Apakah tugas perkembangan anak didik bisa tuntas selama diajar oleh guru tersebut? Apakah penghargaan dari pihak sekolah tidak cukup untuk membuat guru bersyukur?

Saya yakin, tidak semua orang tua murid berkecukupan untuk membeli barang- barang bermerk. Apalagi untuk berterimakasih kepada guru anak mereka yang entah berhasil atau tidak dalam mendidik mereka. Lagi, budaya semacam ini sungguh tidak sehat. Berterimakasih tidak harus dengan pemberian barang. Memberikan nilai yang baik, bersikap sopan santun, kasih sayang terhadap sesama dan saling menghargai adalah hadiah terbesar bagi guru. Karena itulah keberhasilan pendidikan, karakter yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Ketika mengajar yang dihargai apa adanya kemudian digodai dengan sedikit kemewahan, apakah niat kita masih lurus? Ketika kita pada hakikatnya tidak bisa dibeli dengan tanda terimakasih yang tidak tepat, apakah orang bisa menyebut kita munafik?

Menyadari bahwa mengajar tidak serta merta sebuah pengabdian tapi kemampuan bertahan hidup, maka jangan pernah bisa dibeli dengan barang fana yang melenakan. Mereka yang memutuskan untuk mendidik, selayaknya sadar atas pilihannya. Mengajar tidak akan pernah membuat kita kaya. Hedonisme tidak ada dalam kamus guru. Kita bisa untuk mengusahakan kehidupan disisi lain agar kebutuhan untuk eksis dapat terpenuhi. Hah. Pada kenyataannya kebutuhan untuk tetap eksis menjadi barang primer bagi orang di jaman sekarang.

Saya mohon, kamu atau siapapun yang memilih mengabdi dijalan pendidikan. Mengajarlah dengan penuh kerendahan hati. Ajarkan kepada mereka sesuatu yang benar untuk dilakukan dalam hidup. Ciptakan budaya yang membiasakan mereka untuk tumbuh tanpa pamrih, berterimakasih dengan cara yang benar dan saling menghargai segala macam sikap baik. Kamu tidak bisa mengubah bangsa dengan itu semua tapi kamu membantu dengan sangat baik bagi generasi muda disekitarmu. Itu jauh lebih bermanfaat dan tepat daripada menerima hadiah² yang sebenarnya tidak layak kamu terima.

🙇

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...