Matahari
bersinar cukup cerah pagi ini. Di sekolah, anak-anak sudah khusyuk dalam meja
masing-masing. Sementara orang tua sudah berangkat ke sawah lebih dulu.
Beberapa tamu yang datang terpaksa balik kanan karena pemilik rumah tidak ada
di tempat.
Dalam
aktivitas pagi, suara perempuan yang tengah mengayuh sepeda perlahan mendekat.
Sepeda itu usang penampilannya. Dua keranjang bambu bertengger dibelakang jok.
Sedangkan sang pengayuh menyandarkan sepedanya begitu sampai ditempat tujuan.
Ia tanggap menanyakan barang bekas yang dijanjikan sebelumnya oleh pemilik rumah.
Karung putih yang sudah kumal diambil dari keranjang dan penimbang dimasukkan
kantong jaket jeans lusuh. Penimbang itu bentuknya sederhana. Batangan besi
dengan angka di permukaannya. Dibagian bawahnya terdapat pegas dan pengait yang
akan digantungkan pada karung putih.
Ia
bergegas menuju halaman belakang rumah karena biasanya pemilik meletakkan
barang bekas di sana. Usai ditimbang, barang bekas plastik dimasukkan ke dalam
keranjang bambu. Membawa dua kilogram barang bekas plastik tidak akan menyulitkannya.
Kertas
bekas yang harus ditimbang lumayan banyak dan berat. Dengan usia sekitar 65
tahun, ia menimbangnya dengan lima kali angkat. Tangannya tidak kuat mengangkat
kertas bekas sekaligus. Ia mulai memasukkan kertas bekas ke dalam karung
kemudian ditimbang sedikit demi sedikit.
Melihat
kertas yang berhamburan di hadapannya, Nenek itu mulai mengomentari banyak hal.
Sekolah Rakyat (SR) yang dulu dinikmatinya menyisakan banyak kenangan dan
pengalaman berharga. Ia bercerita tentang teman-temannya semasa sekolah. “Kami
kalau sekolah nyeker (tidak beralas
kaki). Berangkat pun jalan kaki.” Sembari menunjuk buku-buku pelajaran yang ia
masukkan dalam karung nostalgianya berlanjut. “Coba tengok! Dulu pas sekolah
kami dipinjami buku oleh guru. Setelah dua hari dan kami mengembalikannya, guru
kami tanya apakah kami sudah hafal atau belum isi buku tersebut. Heuu. Anak
sekolah jaman sekarang gak mantep belajarnya. Jaman saya didikannya keras.”
Perempuan
ini sangat keras sifatnya. Intonasi bicaranya tegas. Hal itu karena ia didikan
orde lama yang mengagumi Soekarno. “Ngomongnya sih 1 tapi aku tetep milih
Jokowi.” Kaos yang dikenakannya bertuliskan angka 1. Mungkin gambar pasangan
capres lain karena kaosnya tertutup jaket jeans. Ya. Kaos merupakan atribut
kampanye yang sangat akrab bagi masyarakat pedesaan. Warna-warni kaos dikenakan
sembarang orang yang entah simpatisan sungguhan atau hanya menerima saja diberi
oleh tim sukses. Yang pasti, ia suka sekali dengan kepemimpinan Soekarno.
Tak
puas hanya mengaku pengagum Soekarno, Ia mengeluarkan kartu keanggotaannya
dalam PDIP. Ia menerangkan bahwa partai merupakan alat (tools) bagi negara.
Nah, alat itu menggerakkan rakyat. Rupanya ia menjadi perempuan yang aktif
dalam dunia politik walaupun ia simpatisan di desa yang berjarak ratusan
kilometer dari Jakarta.
“Partai
mana yang gak korupsi? Demokrat banyak. Ditangkapi satu-satu. PPP? Gambarnya
saja yang ka’bah. Nyatanya sama saja. PKS juga. Pokoknya saya tetep milih
Jokowi.” Buku yang ditimbang hampir selesai dimasukkan karung. Ia menuliskan
timbangan yang telah diangkatnya. Coretannya sederhana tetapi membuatnya cermat
dalam menghitung setiap timbangan. Bahkan ia berulang mengecek hitungannya. Ia
berprinsip bahwa segala hitungannya harus dicatat agar tidak lupa. Dari rumah
ke rumah yang memberikan barang bekas dicatat jumlah dan jenisnya.
Puas
dengan barang bekasnya, perempuan pengagum Soekarno ini mengangkut barang bekas
tersebut ke dalam keranjang. Ia mengayuh sepedanya kembali dan mencari barang
bekas di tempat lain. Barangkali ia bersemangat untuk memberikan opini yang
sama kepada orang lain yang ditemuinya.
@cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar