Kamis, 11 September 2014

Cerita Dari Perempuan yang Mengagumi Soekarno



Matahari bersinar cukup cerah pagi ini. Di sekolah, anak-anak sudah khusyuk dalam meja masing-masing. Sementara orang tua sudah berangkat ke sawah lebih dulu. Beberapa tamu yang datang terpaksa balik kanan karena pemilik rumah tidak ada di tempat.   

Dalam aktivitas pagi, suara perempuan yang tengah mengayuh sepeda perlahan mendekat. Sepeda itu usang penampilannya. Dua keranjang bambu bertengger dibelakang jok. Sedangkan sang pengayuh menyandarkan sepedanya begitu sampai ditempat tujuan. Ia tanggap menanyakan barang bekas yang dijanjikan sebelumnya oleh pemilik rumah. Karung putih yang sudah kumal diambil dari keranjang dan penimbang dimasukkan kantong jaket jeans lusuh. Penimbang itu bentuknya sederhana. Batangan besi dengan angka di permukaannya. Dibagian bawahnya terdapat pegas dan pengait yang akan digantungkan pada karung putih. 

Ia bergegas menuju halaman belakang rumah karena biasanya pemilik meletakkan barang bekas di sana. Usai ditimbang, barang bekas plastik dimasukkan ke dalam keranjang bambu. Membawa dua kilogram barang bekas plastik tidak akan menyulitkannya.
Kertas bekas yang harus ditimbang lumayan banyak dan berat. Dengan usia sekitar 65 tahun, ia menimbangnya dengan lima kali angkat. Tangannya tidak kuat mengangkat kertas bekas sekaligus. Ia mulai memasukkan kertas bekas ke dalam karung kemudian ditimbang sedikit demi sedikit.
Melihat kertas yang berhamburan di hadapannya, Nenek itu mulai mengomentari banyak hal. Sekolah Rakyat (SR) yang dulu dinikmatinya menyisakan banyak kenangan dan pengalaman berharga. Ia bercerita tentang teman-temannya semasa sekolah. “Kami kalau sekolah nyeker (tidak beralas kaki). Berangkat pun jalan kaki.” Sembari menunjuk buku-buku pelajaran yang ia masukkan dalam karung nostalgianya berlanjut. “Coba tengok! Dulu pas sekolah kami dipinjami buku oleh guru. Setelah dua hari dan kami mengembalikannya, guru kami tanya apakah kami sudah hafal atau belum isi buku tersebut. Heuu. Anak sekolah jaman sekarang gak mantep belajarnya. Jaman saya didikannya keras.”

Perempuan ini sangat keras sifatnya. Intonasi bicaranya tegas. Hal itu karena ia didikan orde lama yang mengagumi Soekarno. “Ngomongnya sih 1 tapi aku tetep milih Jokowi.” Kaos yang dikenakannya bertuliskan angka 1. Mungkin gambar pasangan capres lain karena kaosnya tertutup jaket jeans. Ya. Kaos merupakan atribut kampanye yang sangat akrab bagi masyarakat pedesaan. Warna-warni kaos dikenakan sembarang orang yang entah simpatisan sungguhan atau hanya menerima saja diberi oleh tim sukses. Yang pasti, ia suka sekali dengan kepemimpinan Soekarno. 

Tak puas hanya mengaku pengagum Soekarno, Ia mengeluarkan kartu keanggotaannya dalam PDIP. Ia menerangkan bahwa partai merupakan alat (tools) bagi negara. Nah, alat itu menggerakkan rakyat. Rupanya ia menjadi perempuan yang aktif dalam dunia politik walaupun ia simpatisan di desa yang berjarak ratusan kilometer dari Jakarta. 

“Partai mana yang gak korupsi? Demokrat banyak. Ditangkapi satu-satu. PPP? Gambarnya saja yang ka’bah. Nyatanya sama saja. PKS juga. Pokoknya saya tetep milih Jokowi.” Buku yang ditimbang hampir selesai dimasukkan karung. Ia menuliskan timbangan yang telah diangkatnya. Coretannya sederhana tetapi membuatnya cermat dalam menghitung setiap timbangan. Bahkan ia berulang mengecek hitungannya. Ia berprinsip bahwa segala hitungannya harus dicatat agar tidak lupa. Dari rumah ke rumah yang memberikan barang bekas dicatat jumlah dan jenisnya. 

Puas dengan barang bekasnya, perempuan pengagum Soekarno ini mengangkut barang bekas tersebut ke dalam keranjang. Ia mengayuh sepedanya kembali dan mencari barang bekas di tempat lain. Barangkali ia bersemangat untuk memberikan opini yang sama kepada orang lain yang ditemuinya.

@cilacap 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...