Rabu, 10 September 2014

Pelajaran Sejarah


 
Hari ini saya membuka satu buku usang pelajaran sejarah semasa SMA ketika membereskan buku-buku lama di rak. Saya merasa senang setiap menjelajah lembar demi lembar catatan tersebut. Bukankah menarik apabila kita meneropong ribuan tahun lampau melalui lensa 6 tahun lalu? Ya. Pelajaran sejarah selalu menarik perhatian saya dari dulu. Guru sejarah ibarat tukang cerita yang serba tahu seluk beluk suatu peristiwa. Mereka dengan lihai menyebut nama tokoh, tempat kejadian, tanggal peristiwa bahkan warna baju atau jumlah tentara dalam suatu perang. Sang guru yang serba tahu pun selalu dapat menjawab pertanyaan saya dengan tegas. 

Sayangnya pertanyaan yang saya ajukan bukan tentang apa, siapa, dimana dan bagaimana melainkan mengapa suatu peristiwa terjadi, mengapa tokoh A melakukan sesuatu dan sebagainya. Dalam suatu pertemuan di kelas XI, saya mengajukan pertanyaan tentang keistimewaan Islam dalam mengokohkan eksistensinya di nusantara. Alangkah kagumnya saya dengan jawaban sang guru yang mengatakan; “Islam mampu menggeser agama sebelumnya yaitu Budha dan Hindu tetapi tidak dapat digeser oleh agama sesudahnya yaitu Kristen dan Katholik.” Sampai hari ini saya masih ingat dengan jawaban mengagumkan itu. 

 Pelajaran sejarah membuat saya mengagumi guru-gurunya. Di jenjang SMP saya memiliki guru sejarah perempuan yang bersemangat dalam mengajar. Beliau tahu caranya menanamkan pemahaman kepada siswa agar lebih mudah mengingat. Beliau menggunakan peta konsep untuk menjelaskan suatu peristiwa terjadi dengan alur yang runtut. Jarinya akan lincah membuat anak panah dari satu peristiwa ke peristiwa lain dan dari satu tokoh ke tokoh yang lain. Alurnya menarik. Saya tidak merasa dituntut untuk menghafal materi pelajaran walaupun tanpa sadar saya menghafal setiap peristiwa dengan baik. Lambat laun saya belajar memahami konsep suatu peristiwa dan hubungan yang tercipta di dalamnya. Akhirnya saya bisa menganalisis peristiwa dalam kadar yang masih sederhana. 

Jenjang putih abu-abu menghadirkan konten yang lebih mendalam untuk dipelajari. Guru sejarahnya tidak kalah kece dengan semasa SMP. Beliau tidak memberikan peta konsep tetapi beliau mengajar seperti seorang filsuf. Entahlah. Agaknya itu berlebihan. Beliau memberikan materi dengan berkelas. Gaya bicara, intonasi, dan alurnya sungguh membuat penasaran. Di saat seperti itu saya paling benci dengan bel tanda berakhirnya pelajaran. Saya sering bertanya kepada beliau di kelas dan merenungi setiap peristiwa yang dijelaskan usai pelajaran. 

Dalam sebuah ujian tengah semester, saya mendapat nilai jeblok diantara teman-teman yang nilainya tinggi. Nilai 6 menghias lembar jawaban setelah periode sebelumnya saya mendapatkan 9. Beliau sempat mengomentari nilai saya dan berharap dapat meningkatkan nilai di ujian mendatang. Terus terang saya malu dan begitu menyesal. Guru dan pelajaran yang saya senangi malah mendapatkan nilai yang buruk. 

Begitulah menjadi seorang guru. Kita tidak hanya membuat mereka memiliki nilai yang bagus tetapi membuat siswa mencintai ilmu yang kita ajarkan. Kita sungguh tidak perlu memberikan tugas yang melelahkan dan merepotkan. Buatlah mereka menikmati setiap menit bersama kita di dalam kelas karena mereka butuh fasilitator yang menyenangkan selama sekolah. Karakter unik akan sangat membantu kita diterima di dalam kelas. Selain membedakan kita dengan guru yang lain, kita akan lebih mudah mendekati mereka jika terjadi sesuatu hal misalnya nilai buruk, terlambat masuk kelas, atau persoalan pribadi.

@cilacap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...