Hari ini saya membuka
satu buku usang pelajaran sejarah semasa SMA ketika membereskan buku-buku lama
di rak. Saya merasa senang setiap menjelajah lembar demi lembar catatan
tersebut. Bukankah menarik apabila kita meneropong ribuan tahun lampau melalui
lensa 6 tahun lalu? Ya. Pelajaran sejarah selalu menarik perhatian saya dari
dulu. Guru sejarah ibarat tukang cerita yang serba tahu seluk beluk suatu peristiwa.
Mereka dengan lihai menyebut nama tokoh, tempat kejadian, tanggal peristiwa
bahkan warna baju atau jumlah tentara dalam suatu perang. Sang guru yang serba
tahu pun selalu dapat menjawab pertanyaan saya dengan tegas.
Sayangnya pertanyaan
yang saya ajukan bukan tentang apa, siapa, dimana dan bagaimana melainkan
mengapa suatu peristiwa terjadi, mengapa tokoh A melakukan sesuatu dan
sebagainya. Dalam suatu pertemuan di kelas XI, saya mengajukan pertanyaan
tentang keistimewaan Islam dalam mengokohkan eksistensinya di nusantara.
Alangkah kagumnya saya dengan jawaban sang guru yang mengatakan; “Islam mampu
menggeser agama sebelumnya yaitu Budha dan Hindu tetapi tidak dapat digeser
oleh agama sesudahnya yaitu Kristen dan Katholik.” Sampai hari ini saya masih
ingat dengan jawaban mengagumkan itu.
Pelajaran sejarah membuat saya mengagumi
guru-gurunya. Di jenjang SMP saya memiliki guru sejarah perempuan yang
bersemangat dalam mengajar. Beliau tahu caranya menanamkan pemahaman kepada
siswa agar lebih mudah mengingat. Beliau menggunakan peta konsep untuk
menjelaskan suatu peristiwa terjadi dengan alur yang runtut. Jarinya akan
lincah membuat anak panah dari satu peristiwa ke peristiwa lain dan dari satu
tokoh ke tokoh yang lain. Alurnya menarik. Saya tidak merasa dituntut untuk
menghafal materi pelajaran walaupun tanpa sadar saya menghafal setiap peristiwa
dengan baik. Lambat laun saya belajar memahami konsep suatu peristiwa dan
hubungan yang tercipta di dalamnya. Akhirnya saya bisa menganalisis peristiwa
dalam kadar yang masih sederhana.
Jenjang putih abu-abu
menghadirkan konten yang lebih mendalam untuk dipelajari. Guru sejarahnya tidak
kalah kece dengan semasa SMP. Beliau tidak memberikan peta konsep tetapi beliau
mengajar seperti seorang filsuf. Entahlah. Agaknya itu berlebihan. Beliau
memberikan materi dengan berkelas. Gaya bicara, intonasi, dan alurnya sungguh
membuat penasaran. Di saat seperti itu saya paling benci dengan bel tanda
berakhirnya pelajaran. Saya sering bertanya kepada beliau di kelas dan
merenungi setiap peristiwa yang dijelaskan usai pelajaran.
Dalam sebuah ujian tengah
semester, saya mendapat nilai jeblok diantara teman-teman yang nilainya tinggi.
Nilai 6 menghias lembar jawaban setelah periode sebelumnya saya mendapatkan 9.
Beliau sempat mengomentari nilai saya dan berharap dapat meningkatkan nilai di
ujian mendatang. Terus terang saya malu dan begitu menyesal. Guru dan pelajaran
yang saya senangi malah mendapatkan nilai yang buruk.
Begitulah menjadi seorang
guru. Kita tidak hanya membuat mereka memiliki nilai yang bagus tetapi membuat
siswa mencintai ilmu yang kita ajarkan. Kita sungguh tidak perlu memberikan
tugas yang melelahkan dan merepotkan. Buatlah mereka menikmati setiap menit
bersama kita di dalam kelas karena mereka butuh fasilitator yang menyenangkan
selama sekolah. Karakter unik akan sangat membantu kita diterima di dalam
kelas. Selain membedakan kita dengan guru yang lain, kita akan lebih mudah
mendekati mereka jika terjadi sesuatu hal misalnya nilai buruk, terlambat masuk
kelas, atau persoalan pribadi.
@cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar