Sabtu, 20 September 2014

Life Skill Perempuan



Jaman serba canggih menuntut kita untuk beradaptasi dan mengembangkan diri. Setiap orang harus bertahan atas berbagai budaya baru yang berdatangan. Pergeseran budaya yang disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi jangan sampai menimbulkan cultural lag dalam diri kita.
Bisnis online, home schooling, kaum sosialita, dan naik kelasnya kebutuhan tersier menjadi kebutuhan primer tidak bisa dihindari. Bagaimana tidak, kebutuhan hidup kita semakin banyak dihiasi oleh delivery order atau layanan pesanan antar. Dalam konsep eksistensialisme, ada dua pilihan dalam menghadapi (coping) dilema semacam ini yaitu give it up atau self definition.
Pertama, give it up atau menyerah pada keadaan. Perkembangan yang begitu pesat tidak dapat diikuti oleh semua orang. Ada orang yang tidak mampu untuk mengikuti perkembangan tersebut misal karena keuangan yang minim sehingga belum sanggup untuk membeli gadget atau kemampuan bahasa yang terbatas sehingga tidak dapat melamar kerja di luar negeri.  Orang yang memiliki konsep diri negatif akhirnya menyerah dengan kemajuan yang terjadi di depan matanya. Mereka menahan diri mereka untuk maju bersama kemajuan tersebut. Padahal usia masih muda, pendidikan dan gelar sudah diraih, link dan pertemanan dimana-mana tetapi mereka memilih status quo yang telah ada.
Kedua, self definition. Perkembangan budaya global menuntut setiap orang untuk meng-upgrade diri agar selaras dengan perkembangan tersebut. Kebutuhan untuk bertahan dan mempertahankan diri dari hal negatif mutlak dipenuhi. Budaya asing yang tidak selaras dengan kultur Indonesia sebisa mungkin dihindari atau disesuaikan. Dalam konsep diri positif, mereka percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi segala macam tantangan. Dalam tantangan dan perkembangan global yang terjadi ada manfaat yang dilihat orang berkonsep diri positif sehingga memacu mereka untuk giat bekerja dan berusaha.
Dunia perempuan merupakan lahan garapan bagi para pebisnis dan pengusaha sebagai prospek yang menjanjikan. Dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang semakin tidak berimbang, kondisi ini membuat semangat orang tertentu untuk melancarkan bisnis mereka. Dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir masyarakat sempat heboh dengan penolakan acara putri-putrian atau miss-missan yang digelar oleh pihak TV dan pengusaha nasional. Pro kontra mewarnai ajang pencarian perempuan muda yang cantik dan berbakat tersebut. Pandangan relijius melihat ajang tersebut sebagai eksploitasi berlebihan terhadap diri perempuan. Perempuan dipandang sebagai obyek bukan sebagai subyek. Dalam hal ini kebutuhan perempuan sebagai obyek disorot habis-habisan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Itulah yang digarap oleh pebisnis dan pengusaha untuk mengembangkan produk mereka. Seharusnya perempuan diberikan kesempatan untuk berkarya dalam caranya masing-masing. Dengan asal daerah berbeda dari finalis yang ada kita dapat memberikan dukungan satu sama lain dalam keahlian yang beragam.
Strategi menghadapi (coping) cultural lag harus dimiliki setiap perempuan dimanapun mereka bekerja. Mereka adalah subyek pembangunan yang berperan sangat penting. Dari rahim mereka akan dilahirkan generasi emas yang mewarisi keberlangsungan negeri. Mereka juga mendukung perekonomian keluarga dengan berbagai bisnis rumahan yang berkualitas mulai dari perlengkapan rumah tangga, aksesoris hingga gadget.
Akhir-akhir ini dimensi publik seperti guru, dosen, dokter, PNS, dan sebagainya menjadi usang bagi perempuan. Mereka lebih memilih bisnis online atau bisnis rumahan yang dipasarkan dalam dunia maya.  Alasan mereka cukup rasional dalam mengambil pilihan tersebut yaitu ingin tetap fokus dalam mengurus anak dan suami. Dengan keluarga sebagai prioritas maka tidak akan menganggu pemenuhan kebutuhan mereka sekalipun ibu bekerja.
Life skill sangat dibutuhkan oleh siapapun dalam kehidupan. Perempuan yang membuat kerajinan tas dari anyaman bambu, membuka konveksi kecil, jasa catering, aksesoris dan sebagainya membutuhkan ketrampilan khusus. Gelar dan pendidikan tidaklah begitu penting dalam hal ini. Banyak dari perempuan tersebut merupakan ibu rumah tangga yang pendidikannya SMA atau S1. Meskipun ada diantara mereka yang khsusus belajar demi usahanya itu. Mereka memilih bidang yang kadang tidak sama dengan pendidikan yang telah diambil. Prinsipnya kalau ada kemauan dan kerja keras perempuan akan bisa menghadapi persaingan.
Kita bisa mengambil peran apapun dalam hidup bermasyarakat. Memang tidak harus semuanya berbisnis atau hal ekonimis lainnya. Ibu-ibu PKK di sekitar komplek dapat kita ajari membuat tas dari sampah daur ulang atau menata lingkungan agar lebih tertata dan rapi. Bagi perempuan atau ibu-ibu yang gemar membaca dapat membuat perpustakaan mini di rumah sebagai taman bacaan bagi anak-anak sekolah dan pra sekolah. Selain mengajari mereka cinta membaca, kita dapat memberikan mmereka berbagai keterampilan dalam taman bacaan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...