Jaman
serba canggih menuntut kita untuk beradaptasi dan mengembangkan diri. Setiap
orang harus bertahan atas berbagai budaya baru yang berdatangan. Pergeseran
budaya yang disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi jangan sampai
menimbulkan cultural lag dalam diri
kita.
Bisnis
online, home schooling, kaum sosialita, dan naik kelasnya kebutuhan tersier
menjadi kebutuhan primer tidak bisa dihindari. Bagaimana tidak, kebutuhan hidup
kita semakin banyak dihiasi oleh delivery
order atau layanan pesanan antar. Dalam konsep eksistensialisme, ada dua
pilihan dalam menghadapi (coping)
dilema semacam ini yaitu give it up
atau self definition.
Pertama, give it up atau menyerah pada keadaan. Perkembangan yang begitu
pesat tidak dapat diikuti oleh semua orang. Ada orang yang tidak mampu untuk
mengikuti perkembangan tersebut misal karena keuangan yang minim sehingga belum
sanggup untuk membeli gadget atau kemampuan bahasa yang terbatas sehingga tidak
dapat melamar kerja di luar negeri.
Orang yang memiliki konsep diri negatif akhirnya menyerah dengan
kemajuan yang terjadi di depan matanya. Mereka menahan diri mereka untuk maju
bersama kemajuan tersebut. Padahal usia masih muda, pendidikan dan gelar sudah
diraih, link dan pertemanan dimana-mana tetapi mereka memilih status quo yang
telah ada.
Kedua, self definition.
Perkembangan budaya global menuntut setiap orang untuk meng-upgrade diri agar selaras dengan
perkembangan tersebut. Kebutuhan untuk bertahan dan mempertahankan diri dari
hal negatif mutlak dipenuhi. Budaya asing yang tidak selaras dengan kultur
Indonesia sebisa mungkin dihindari atau disesuaikan. Dalam konsep diri positif,
mereka percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi segala macam
tantangan. Dalam tantangan dan perkembangan global yang terjadi ada manfaat
yang dilihat orang berkonsep diri positif sehingga memacu mereka untuk giat
bekerja dan berusaha.
Dunia
perempuan merupakan lahan garapan bagi para pebisnis dan pengusaha sebagai
prospek yang menjanjikan. Dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan
yang semakin tidak berimbang, kondisi ini membuat semangat orang tertentu untuk
melancarkan bisnis mereka. Dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir masyarakat
sempat heboh dengan penolakan acara putri-putrian atau miss-missan yang digelar
oleh pihak TV dan pengusaha nasional. Pro kontra mewarnai ajang pencarian
perempuan muda yang cantik dan berbakat tersebut. Pandangan relijius melihat
ajang tersebut sebagai eksploitasi berlebihan terhadap diri perempuan.
Perempuan dipandang sebagai obyek bukan sebagai subyek. Dalam hal ini kebutuhan
perempuan sebagai obyek disorot habis-habisan mulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Itulah yang digarap oleh pebisnis dan pengusaha untuk mengembangkan
produk mereka. Seharusnya perempuan diberikan kesempatan untuk berkarya dalam
caranya masing-masing. Dengan asal daerah berbeda dari finalis yang ada kita
dapat memberikan dukungan satu sama lain dalam keahlian yang beragam.
Strategi
menghadapi (coping) cultural lag harus dimiliki setiap
perempuan dimanapun mereka bekerja. Mereka adalah subyek pembangunan yang
berperan sangat penting. Dari rahim mereka akan dilahirkan generasi emas yang
mewarisi keberlangsungan negeri. Mereka juga mendukung perekonomian keluarga
dengan berbagai bisnis rumahan yang berkualitas mulai dari perlengkapan rumah
tangga, aksesoris hingga gadget.
Akhir-akhir
ini dimensi publik seperti guru, dosen, dokter, PNS, dan sebagainya menjadi
usang bagi perempuan. Mereka lebih memilih bisnis online atau bisnis rumahan yang dipasarkan dalam dunia maya. Alasan mereka cukup rasional dalam mengambil
pilihan tersebut yaitu ingin tetap fokus dalam mengurus anak dan suami. Dengan
keluarga sebagai prioritas maka tidak akan menganggu pemenuhan kebutuhan mereka
sekalipun ibu bekerja.
Life skill sangat dibutuhkan oleh
siapapun dalam kehidupan. Perempuan yang membuat kerajinan tas dari anyaman
bambu, membuka konveksi kecil, jasa catering, aksesoris dan sebagainya
membutuhkan ketrampilan khusus. Gelar dan pendidikan tidaklah begitu penting
dalam hal ini. Banyak dari perempuan tersebut merupakan ibu rumah tangga yang
pendidikannya SMA atau S1. Meskipun ada diantara mereka yang khsusus belajar
demi usahanya itu. Mereka memilih bidang yang kadang tidak sama dengan pendidikan
yang telah diambil. Prinsipnya kalau ada kemauan dan kerja keras perempuan akan
bisa menghadapi persaingan.
Kita
bisa mengambil peran apapun dalam hidup bermasyarakat. Memang tidak harus
semuanya berbisnis atau hal ekonimis lainnya. Ibu-ibu PKK di sekitar komplek
dapat kita ajari membuat tas dari sampah daur ulang atau menata lingkungan agar
lebih tertata dan rapi. Bagi perempuan atau ibu-ibu yang gemar membaca dapat
membuat perpustakaan mini di rumah sebagai taman bacaan bagi anak-anak sekolah dan
pra sekolah. Selain mengajari mereka cinta membaca, kita dapat memberikan
mmereka berbagai keterampilan dalam taman bacaan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar