Sabtu, 16 November 2013

Pahlawan

Bagi saya,
pahlawan ialah beliau yang membantu saya menyelesaikan bacaan Alquran saya. Jika Delisa mampu menyelesaikan bacaan shalatnya dengan didatangkan Tsunami yang dahsyat maka saya menyelesaikan bacaan Alquran saya dengan cara yang lebih sederhana.

Ditemani lampu pijar 5watt setiap malam saya menyusuri kalimah Nya dengan dimandori seorang laki-laki ceking paruh baya. Suara saya yang sebenarnya sangat jauh dari qari' rasanya bukan masalah substansial yang menggelisahkan. Yang penting ada suara yang keluar dan hukum bacaannya benar. Maka saya terus melahap ayat demi ayat yang ada. Motivasi setiap malam adalah setelah tanda 'ain akan selesai. Harapan layaknya kembang kertas didepan halaman yang melambai-lambai untuk dipetik tetapi tak ada orang yang tertarik bahkan untuk melihat. Akhirnya, saya hanya bisa pasrah jika huruf 'ain terlewatkan begitu saja. Jangan ditanya suara saya semerdu apa. Antara dongkol, suara yang hampir habis, cahaya yang terbatas dan rangkaian kalimah Nya yang tanpa titik, keputusan terbaik adalah duduk manis dan menurut. Memang tidak pernah ada omelan atau teguran menyakitkan. Sama sekali tidak. Bahkan beliau antusias mendengarkan setiap lafal yang saya ucapkan. Rasanya jahat sekali ya jika saya melafalkannya dalam nada yang false atau tidak merdu. Tetapi salah sendiri mengapa menyuruh saya membaca berlembar-lembar ayat Alquran. Saya kan juga lelah. Belum lagi nyamuk-nyamuk nakal yang dikirimkan Allah untuk menggoda saya. Pada usia yang belum dewasa itu saya tidak pernah sekalipun berpikir semuanya akan berbuah pahala atau dosa. Saya jengkel, suara hilang, dan kaki digigit nyamuk. Itu sudah lengkap. Bahkan sesekali jika mati lampu kami menggunakan lampu minyak. Semua kejengkelan dan kepasrahan pada akhirnya sirna jika sudah ada tanda untuk berhenti. Ternyata sesederhana itu kebahagiaan untuk anak seumuran saya.

Bermalam-malam yang panjang saya habiskan untuk menyelesaikannya. Beliau rela mendampingi saya sementara istri dan anaknya terpaksa mendengarkan suara saya yang parau dari balik dinding. Beliau juga rela memicingkan mata jika cahaya yang kami miliki hanya satu lampu minyak kecil dan harus dibagi dua. Bapak saya tidak pernah memberikannya uang atau apa. Ah, mungkin saya yang tidak tahu. Kebaikan yang berbalikanlah yang terjadi. Bapak saya sesekali memberikannya pekerjaan. Ibu saya sesekali berbagi makanan jika berlebih. Tapi Allah memberikannya pahala yang mungkin sampai saya meninggal pun akan tetap mengalir. Allah yang Maha Kaya memberikan lebih banyak dari yang keluarga saya berikan. Sesederhana itu.

Jazakumullah khairan katsir. Inilah hidup yang sesungguhnya. Berbagi apa yang kita miliki. Menerima apa-apa yang diikhlaskan dari orang lain kepada kita.
Alhamdulillah. Lailahailallah. Allahu Akbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...