Rabu, 18 September 2013

Bintang, Kembang Api, Rambutan dan Pesawat

Saat memandang langit malam di teras rumah, rasanya ingin memetik bintang yang ada di atas saya. Saya tidak perlu membeli kembang api untuk dinyalakan karena memang sudah semarak oleh bintang. Apabila saya keluar dan masih di teras rumah, rasanya seperti berada di observatorium. Bintangnya tepat di atas kepala saya. Begitu dekat.

Langit memang sebagian tertutup dedaunan rimbun rambutan yang hampir matang seluruhnya. Namun hangatnya bintang tidak terhalang pohon tetangga yang selalu menambah sejuk halaman rumah saya. Pohon yang sudah bertahun-tahun menjadi pelindung dan pemberi rezeki itu benar-benar membawa keberkahan.

Yang membahagiakan yaitu ketika momentum Idul Fitri atau Tahun Baru. Meski sudah ada ratusan kembang api yang dinyalakan, tetap saja keluarga saya membeli beberapa buah untuk dinyalakan sendiri. Bukan berapa meriahnya cahaya yang tercipta dari kembang api. Bukan. Melainkan ukhuwah yang tak sengaja terpercik diantara lengkingan cahaya. Maka sudah menjadi undangan lisan ketika adik dan keponakan saya merengek-rengek di beranda rumah. Mereka mengajak tetangga untuk menyalakan kembang api satu per satu. Sekali lagi, yang semarak bukan hanya langit. Melainkan hati yang meletup-letup oleh kebersamaan.

Andai malam ini di Semarang dan melihat kerlip lampu berjalan di udara pasti dapat ditebak itu pesawat. Baik itu pesawat komersil atau bukan. Saya pun pernah landing dari Jakarta sekitar pukul 9 malam. Respati Oktaviani pernah mengatakan bahwa ia selalu terbangun pada pukul 1 dini hari karena deru pesawat. Dia pun bertanya, "rute penerbangan kemanakah?". Suatu hari saya berandai-andai bersama teman saya Farah Riyantika. "Setiap kali memandang langit dan mendapati ada pesawat pasti langsung berharap ada seseorang yang mengirimkan pesan dan mengabarkan bahwa ia ada di bandara". Selalu begitu.

Andai malam ini saya berada dibawah langit Cilacap bagian barat dan melihat lampu sign pesawat dari arah tenggara lantas terbesit pertanyaan "pesawat dari mana ya?". Mengingat wilayah Cilacap yang posisinya di Jawa bagian Selatan dan berada persis di sebelah Samudera Hindia. Sambil tersenyum "mungkin pesawat dari Jogja atau dari Aussie".

Sedari kecil saya begitu gembira dengan deru pesawat yang terbang di atas langit rumah. Saya melihatnya dari bawah dan meneriakan sapaan konyol hingga melambaikan tangan bahkan berlarian seolah hendak mengejar.

Jika kamu pernah mengintai rambutan milik tetangga untuk sekadar berharap menikmatinya tanpa susah payah menanamnya, menjuntaikan tangan ke langit seolah hendak memetik bintang, atau berlarian menyambut pesawat yang terbang melintas  maka kamu punya keceriaan yang sesungguhnya.

Saya mengalaminya dan masih euforia dengan deru pesawat, bintang, rambutan dan kembang api. Namun saya selalu berharap ada seseorang yang menelpon saya seusai pesawat terbang merendah di langit Semarang. Entah sahabat, entah manusia yang hidup di sisa hidup saya. Semoga waktunya akan tiba :)

29 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...