Selasa, 01 Oktober 2013

Kita dan Kereta

Ada serangkaian gerbong yang memuat ratusan penumpang. Ia menapaki setiap jengkal hidupku hampir sepanjang waktu. Ratusan penumpang itu beraneka rupa karakter, sifat, pekerjaan, rumah, cita-cita, dan kesemangatannya. Cerita yang diperdengarkan sepanjang perjalanan pun sangat berwarna mulai dari cerita pasangan, kerja keras di kantor, pembeli yang menjengkelkan, klien yang patah semangat, anak-anak yang hendak melanjutkan sekolah, mahasiswa pas-pasan yang mengobrol tugas kuliah, karyawan yang baru promosi jabatan, anggota baru dalam keluarga, pernikahan dan segala atribut hidup. Semua bercerita tentang dirinya, mendengarkan satu sama lain dan tertidur.

Gerbong yang melintas tidak melulu kelas eksekutif. Sesekali kelas ekonomi melintas baik jarak dekat maupun jarak jauh. Ceritanya pun sesuai dengan kelas masing-masing. Kelas ekonomi dipenuhi paduan suara asongan dan riuh penumpang. AC yang terkadang mati dan jendela yang terbuka sebagian menjadi fasilitas yang mau tidak mau masih ada didalam gerbong (mungkin hari ini sudah tidak ada). Terkadang penumpang menggelar koran bekas dilantai untuk meluruskan kaki. Meski kelas ekonomi telah memiliki aturan pembatasan penumpang, rasa nyaman tetaplah rasa ekonomi. Mereka bercerita tentang kesulitan hidup, kerasnya lapangan kerja, melangitnya tuntutan anak-anak dan istri, termasuk panasnya gerbong kereta. Ada juga yang berbahagia dengan pernikahan yang belum berlangsung lama, waktu yang dinanti-nanti untuk bertemu keluarga, rejeki yang selalu da meski sedikit, anak-anak yang mulai beranjak besar, atau murid yang nilainya selalu bagus. Cerita kelas ekonomi tetap saja rasa ekonomi, meski serba terbatas tapi Allah lah yang tidak membatasi kebahagiaan mereka.

Lain halnya dengan mereka yang duduk di gerbong-gerbong eksekutif dengan nyaman dan santai menikmati perjalanan. Penumpangnya beragam pula mulai dari pengusaha, artis, pejabat negara hingga presiden. Ada juga masyarakat biasa yang terpaksa masuk kelas eksekutif karena tiket kelas lain sudah habis terjual. Pelayanan prima dengan fasilitas prima menandakan harga yang ditawarkan kepada penumpang. Bagaimana dengan cerita yang terdengar dari gerbong-gerbong ini? Boro-boro cerita haru atau menyedihkan, obrolan ringan dan renyah saja jarang terjadi. Jarang bukan berarti tidak pernah terjadi, hanya saja intensitasnya sangat minim. Kebanyakan mereka memegang gadget, menyusun rencana kerja dan meeting, menghubungi klien atau keluarga, atau membaca koran.

Dibawah gerbong-gerbong eksekutif, bisnis atau ekonomi selalu ada kita. Yang kokoh lagi menguatkan mereka yang melaju dengan kecepatan konstan dalam setiap perjalanannya. Ibarat rel yang terbuat dari baja, kita kuat dan menguatkan. Begitulah kita. Dalam kesejajaran itu, kita akan menguatkan dan menyempurnakan perjalanan panjang sang kereta. Tidak perlu berjumpa di satu titik karena itu tentu akan membuat bencana. Aku disini dan kamu disana. Tidak pernah jauh, hanya setengah meter kita berjarak tapi kebahagiaan mereka yang menaiki kereta mencapai ribuan kilometer.

Kita selalu mendengarkan keluh kesah mereka, menyaksikan airmata yang diam-diam jatuh, berusaha menutup telinga dari pertengkaran sebuah pasangan. Kita selalu kokoh meski mereka menangis. Kita pun tetap kokoh dalam kebahagiaan mereka. Apakah kau ingat ketika manusia-manusia itu menjumpai saudaranya di stasiun? Apakah kau merasakan kebahagiaan mereka yang menatap lekat keluarganya setelah sekian lama berpisah?

Ya. Kita menyaksikan banyak hal dalam hidup mereka. Kita memudahkan perjalanan mereka hingga tujuan akhir. Meski tidak bisa saling menggenggam dan saling berjabat denganmu, aku tidak pernah merasa jauh. Aku tidak pernah menangis bahkan tertawa riang karena memang aku tidak ditakdirkan untuk merasa. Aku dan kamu ditakdirkan untuk menyangga kereta-kereta yang melintas itu. Bukankah itu tugas mulia? Ah iya, kita kan tidak pernah merasa seperti manusia-manusia itu.

Akhirnya, sebagai saksi dari milyaran cerita dan doa, kita tetap bersebelahan dalam kekal. Tolong tetap disana, tetap kuat hingga tugas kita selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...