Pemilu 2014 sudah didepan mata yang mana ada banyak pemilih muda yang menggunakan
hak suaranya untuk pertama kali. Melihat peluang yang demikian besar dan
prediksi suara yang hilang karena golput menimbulkan keresahan tersendiri bagi
saya. Jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah pesta demokrasi dan indikasi
keberhasilan pendidikan politik bagi generasi muda.
Pemilih muda atau pemilih pemula
sebagian besar berada di semester awal bangku perkuliahan dan sekolah menengah
atas. Mereka seharusnya mendapatkan pendidikan politik dari guru atau kegiatan
di kampus mengenai partisipasi politik. Sekalipun mendapatkan pendidikan
politik terkadang kita melihat keberhasilan pendidikan itu hanya 30% saja dari
usaha yang telah dilaksanakan. Apa yang menyebabkan hal itu sampai terjadi?
1. Citra politik kotor dari pejabat
tinggi negara
Berbagai kasus yang menjerat petinggi
negara mulai dari legislatif, eksekutif, hingga yudikikatif dalam berbagai
tataran memberikan citar negatif bagi keseluruhan lembaga. Pemuda sudah bosan
dengan prosesi tangkap tangan, adili dan hukum yang dilakukan penegak hukum
negeri ini. Meskipun tidak semua pejabat terlibat kasus yang memperburuk citra,
pemuda membaca mayoritas kasus sebagai indikasi bahwa politik itu kotor. Cara
mendapatkan jabatan yang bernuansakan suap, korupsi ditengah masa jabatan, atau
pertanggungjawaban kinerja yang manipulatif merupakan contoh perilaku pejabat
yang membuat asumsi pemuda terhadap politik menjadi negatif.
2. Apatisme
Kemajuan jaman menyebabkan pemuda dan
kaum muda mempunyai dunianya sendiri. Budaya "nongkrong" di pusat
perbelanjaan, hectic dengan gadget, traveling, dan aktivitas yang menguras
perhatian telah menggeser kepedulian mereka terhadap lingkungan sekitarnya. Hal
itu terjadi dalam tatanan masyarakat perkotaan. Di daerah yang agak pedesaaan
dan koneksi dengan dunia gemerlap masih minim yang terjadi adalah
ketidakpedulian karena partisipasi politik yang mereka lakukan tidak mengubah
hidup mereka. Wajar saja apatisme muncul karena tidak ada kausalitas yang
terjadi antara pemuda desa dan pejabat.
3. Ketidakbutuhan
Persoalan ini terjadi karena pemilih
muda menganggap partisipasi politik bukan merupakan kebutuhannya sebagai warga
negara. Mereka memandang negara ini tidak akan hancur dengan golputnya mereka.
Padahal prediksi golput dari tahun ke tahun semakin meningkat apalagi pada
pemilu 2014. Ketidakbutuhan akan partisipasi politik terjadi juga karena
anggapan yang tidak visioner. Partisipasi politik dilakukan untuk menentukan
siapa saja yang akan memegang kendali kekuasaan selama 5 tahun mendatang.
Inilah yang tidak terbaca oleh banyak kalangan muda yang memilih golput bahkan
untuk orang tua sekalipun.
Ketiga domain tersebut menyebabkan angka
golput dalam pemilu semakin tinggi. Pendidikan politik bukan hanya urusan KPU
melainkan urusan kita semua. Saya rasa KPU pun membutuhkan perpanjangan tangan
dari masyarakat entah dari gerakan anti golput LSM maupun mahasiswa. Bukan
hanya LSM dan mahasiswa saja yang memainkan peran penting dalam pendidikan
politik. Guru yang mengajar di sekolah dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan,
cinta tanah air, dan mengajarkan hak dan kewajiban warga negara perlu mengajak
secara lebih intens lagi. Saya tidak ingin mengarahkan pendidikan politik
semacam ini sebagai giringan ke golongan tertentu dan politik praktis. Saya
hanya ingin menekankan basis suara pemilih pemula berada di sekolah-sekolah
yang akan lebih mudah melakukan pendidikan politik karena bagian dari
lembaga/institusi yang memiliki aturan main yang jelas.
Ketika membicarakan peran guru dalam
pendidikan politik, guru pendidikan kewarganegaraan menjadi yang pertama
bertanggungjawab terhadap proses ini. Alasannya sudah jelas, dalam
memperkenalkan demokrasi dan aspek-aspek pendukung keberhasilan demokrasi
kompetensinya dimiliki oleh guru kewarganegaraan. Guru yang lain dapat membantu
teknis pelaksanaan pendidikan politik sesuai kapasitas masing-masing.
Apakah sepenting itu pendidikan politik?
Pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu
ditanyakan karena kita semua menyadari bahwa mereka (pemilih pemula) merupakan
pengganti pemimpin negara yang akan mereka pilih pada pemilu 2014 dan pemilu
selanjutnya. Apabila pemahaman partisipasi politik dikenalkan dengan baik
diawal mereka memberikan partisipasi, saya rasa ketidakpercayaan terhadap
pemerintah bisa dikurangi. Itulah esensi dari rotasi kepemimpinan yang ada.
Kita pun harus memberikan kepercayaan kepada pemimpin muda dan pemilih pemula
dalam partisipasi politik sesuai kapasitas mereka. Harapannya adalah agar
pengalaman belajar pemilih pemula menjadikan dasar bagi mereka untuk
mencerdaskan generasi mendatang dengan pemahaman yang baik akan partisipasi
politik warga negara sehingga negeri ini dapat menjalankan demokrasi dengan
wajar.
[sebuah renungan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar