Minggu, 13 Oktober 2013

Ketika (*calon) Guru BK Membicarakan Partisipasi Politik

Pemilu 2014 sudah didepan mata yang mana ada banyak pemilih muda yang menggunakan hak suaranya untuk pertama kali. Melihat peluang yang demikian besar dan prediksi suara yang hilang karena golput menimbulkan keresahan tersendiri bagi saya. Jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah pesta demokrasi dan indikasi keberhasilan pendidikan politik bagi generasi muda.

Pemilih muda atau pemilih pemula sebagian besar berada di semester awal bangku perkuliahan dan sekolah menengah atas. Mereka seharusnya mendapatkan pendidikan politik dari guru atau kegiatan di kampus mengenai partisipasi politik. Sekalipun mendapatkan pendidikan politik terkadang kita melihat keberhasilan pendidikan itu hanya 30% saja dari usaha yang telah dilaksanakan. Apa yang menyebabkan hal itu sampai terjadi?

1. Citra politik kotor dari pejabat tinggi negara
Berbagai kasus yang menjerat petinggi negara mulai dari legislatif, eksekutif, hingga yudikikatif dalam berbagai tataran memberikan citar negatif bagi keseluruhan lembaga. Pemuda sudah bosan dengan prosesi tangkap tangan, adili dan hukum yang dilakukan penegak hukum negeri ini. Meskipun tidak semua pejabat terlibat kasus yang memperburuk citra, pemuda membaca mayoritas kasus sebagai indikasi bahwa politik itu kotor. Cara mendapatkan jabatan yang bernuansakan suap, korupsi ditengah masa jabatan, atau pertanggungjawaban kinerja yang manipulatif merupakan contoh perilaku pejabat yang membuat asumsi pemuda terhadap politik menjadi negatif.
2. Apatisme
Kemajuan jaman menyebabkan pemuda dan kaum muda mempunyai dunianya sendiri. Budaya "nongkrong" di pusat perbelanjaan, hectic dengan gadget, traveling, dan aktivitas yang menguras perhatian telah menggeser kepedulian mereka terhadap lingkungan sekitarnya. Hal itu terjadi dalam tatanan masyarakat perkotaan. Di daerah yang agak pedesaaan dan koneksi dengan dunia gemerlap masih minim yang terjadi adalah ketidakpedulian karena partisipasi politik yang mereka lakukan tidak mengubah hidup mereka. Wajar saja apatisme muncul karena tidak ada kausalitas yang terjadi antara pemuda desa dan pejabat.
3. Ketidakbutuhan
Persoalan ini terjadi karena pemilih muda menganggap partisipasi politik bukan merupakan kebutuhannya sebagai warga negara. Mereka memandang negara ini tidak akan hancur dengan golputnya mereka. Padahal prediksi golput dari tahun ke tahun semakin meningkat apalagi pada pemilu 2014. Ketidakbutuhan akan partisipasi politik terjadi juga karena anggapan yang tidak visioner. Partisipasi politik dilakukan untuk menentukan siapa saja yang akan memegang kendali kekuasaan selama 5 tahun mendatang. Inilah yang tidak terbaca oleh banyak kalangan muda yang memilih golput bahkan untuk orang tua sekalipun.

Ketiga domain tersebut menyebabkan angka golput dalam pemilu semakin tinggi. Pendidikan politik bukan hanya urusan KPU melainkan urusan kita semua. Saya rasa KPU pun membutuhkan perpanjangan tangan dari masyarakat entah dari gerakan anti golput LSM maupun mahasiswa. Bukan hanya LSM dan mahasiswa saja yang memainkan peran penting dalam pendidikan politik. Guru yang mengajar di sekolah dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air, dan mengajarkan hak dan kewajiban warga negara perlu mengajak secara lebih intens lagi. Saya tidak ingin mengarahkan pendidikan politik semacam ini sebagai giringan ke golongan tertentu dan politik praktis. Saya hanya ingin menekankan basis suara pemilih pemula berada di sekolah-sekolah yang akan lebih mudah melakukan pendidikan politik karena bagian dari lembaga/institusi yang memiliki aturan main yang jelas.

Ketika membicarakan peran guru dalam pendidikan politik, guru pendidikan kewarganegaraan menjadi yang pertama bertanggungjawab terhadap proses ini. Alasannya sudah jelas, dalam memperkenalkan demokrasi dan aspek-aspek pendukung keberhasilan demokrasi kompetensinya dimiliki oleh guru kewarganegaraan. Guru yang lain dapat membantu teknis pelaksanaan pendidikan politik sesuai kapasitas masing-masing.

Apakah sepenting itu pendidikan politik?
Pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu ditanyakan karena kita semua menyadari bahwa mereka (pemilih pemula) merupakan pengganti pemimpin negara yang akan mereka pilih pada pemilu 2014 dan pemilu selanjutnya. Apabila pemahaman partisipasi politik dikenalkan dengan baik diawal mereka memberikan partisipasi, saya rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah bisa dikurangi. Itulah esensi dari rotasi kepemimpinan yang ada. Kita pun harus memberikan kepercayaan kepada pemimpin muda dan pemilih pemula dalam partisipasi politik sesuai kapasitas mereka. Harapannya adalah agar pengalaman belajar pemilih pemula menjadikan dasar bagi mereka untuk mencerdaskan generasi mendatang dengan pemahaman yang baik akan partisipasi politik warga negara sehingga negeri ini dapat menjalankan demokrasi dengan wajar.

[sebuah renungan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...