Jilvia
Indyarti | Guru Bimbingan dan Konseling |SM3T Angkatan V LPTK Unnes
Ada
seorang teman yang membuat status di BBM. Dia mengatakan bahwa “Mungkin Tuhan
menciptakan Flores dengan tertawa”. Ya. Ada benarnya juga dia katakan demikian.
Masyarakatnya riang, ramah, dan ringan tangan. Mereka menyukai musik-musik
bergenre nge-beat. Kalau kamu berkunjung kesini dan melihat ada orang yang
murung, mungkin perlu dipertanyakan darah Floresnya. Tidak berlebihan jika saya
memberi label “Flores memang unik”. Di salah satu sudutnya, saya memulai
perjalanan dan pembelajaran bermakna. Salah satu Kabupaten yang besar, Ende.
Pertama kali mendarat di
Flores, bandara persinggahan pertama yang nampak yaitu Labuan Bajo. Bandara di
ujung barat Pulau Flores ini menjadi gerbang masuk memasuki Flores. Kita dapat
berkunjung ke Pulau Komodo melalui Labuan Bajo dengan dilanjutkan via jalur
darat. Lepas landas dari Labuan Bajo, kami melanjutkan ke tujuan selanjutnya
yaitu Ende.
Pesawat
kecil yang kami tumpangi mau tidak mau harus melakukan manuver diatas Laut
Sawu. Sebagian besar kami yang belum terbiasa naik pesawat kecil menahan tegang
karena eksotisnya Ende dan was-was pada posisi miring di atas laut. Siapa yang
menjamin bahwa kami tidak akan terperosok ke kedalaman laut jika ditakdirkan
mengalami musibah? Tegang percampuran itu akhirnya terbayar dengan sambutan
teman-teman senior di ruang penjemputan.
Dalam
hati, saya bergumam “Ini Ende? Tanah yang akan saya tinggali sampai satu tahun
kedepan? Oh God. Ada apa di tempat sesepi ini?”. Berbagai pertanyaan tidak
penting liar berkeliaran didalam kepala. Sekalipun saya sudah diberi bocoran
tentang kota ini, tetapi penasaran masih berlaku untuk pendatang baru.
Senyuman
teman saya sembari melambai-lambai belum dapat saya artikan sebagai sinyal
kegembiraan murni. Yang saya bisa tangkap dari rona wajah mereka adalah
kedatangan saya merupakan alarm kepulangan mereka. Saya cukup senang memiliki
teman-teman yang sudah “membuka hutan” untuk saya. Inilah yang namanya tidak
ada kebetulan dalam dunia. Semua sudah dituliskan dalam naskah hidup yang
ditentukan. Mereka datang dulu, kemudian baru saya.
Salah satu gambar dari atas pesawat. Dalam perjalanan Semarang-Denpasar |
Bandara Hasan AroeBoesman di Ende |
Detik-detik pertama di wilayah
Waktu Indonesia Tengah sungguh lama dan penuh tanda tanya. Apakah akan
menyenangkan? Apakah akan berlalu dengan cepat? Bagaimana orang-orang Flores
dalam hubungan sosial? Bagaimana caranya mengobati home-sick bagi anak rumahan seperti saya? Masih banyak pertanyaan
“bagaimana kalau..” didalam kepala saya. Mulai saat itu, otak saya di setting
untuk rindu akut dengan rumah pada bulan ke 12 di perantauan. Saat dimana
kepulangan menjadi wacana paling hot
diantara kami.
Pada
saat mendarat, tidak ada pikiran nanti akan memberikan layanan bimbingan yang
seperti apa. Mata saya tertuju pada rak kecil berisikan selebaran, panduan
wisata dan buku agenda tahunan. Lupa kalau kami disini ditugaskan negara untuk
membimbing anak-anak kami di sekolah. Saya pikir itu manusiawi. Toh masih belum
terbayangkan akan ditempatkan dimana.
Ende,
2
November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar