Rabu, 25 November 2015

Sudah Dua Bulan!!!!


Jilvia Indyarti | Guru Bimbingan dan Konseling |SM3T Angkatan V LPTK Unnes

November masih dalam hitungan jari. Artinya masih ada 10 bulan yang akan terlewati di tanah pembuangan Soekarno. Ende merupakan sudut Flores yang menakjubkan. Masyarakat, kultur, agama, toleransi dan segala macam lanskap alamnya juara. Jangan berpikir Kelimutu saja. Jangan berpikir Bung Karno saja. Tengoklah barang seminggu dan kau akan temukan alasan mengapa tanah ini disebut sebagai Miniatur Indonesia oleh masyarakatnya.
Persoalan pertama yang dihadapi sudah tentu budaya dan unsur didalamnya. Hal-hal seperti tolerani agama, mata pencaharian, bahasa, kebiasaan, sistem adat dan sebagainya harus disikapi dengan baik agar kami bertahan setidaknya satu tahun kedepan. Kami selaku pendatang yang kebanyakan fresh graduate benar-benar memiliki pengalaman merantau yang luar biasa. Mau tidak mau kami harus terbiasa dengan aksen Ende Lio kemudian belajar kata demi kata. Toleransi beragama di Ende sungguh luar biasa. Kami hidup berdampingan tanpa ada gesekan berarti dan benar-benar akrab satu sama lain. Di kota Kabupaten Ende, kehidupan toleransi sangat kental. Warga melakukan aktivitas tanpa terbebani urusan SARA. Jika kita sudah memasuki perkampungan yang agak jauh dari pusat kota. Adakalanya kita menemukan kampung muslim atau non muslim. Bisa jadi campuran muslim dan non muslim. Sepanjang sejarah, mereka tidak pernah menghadapi konflik besar. Kehidupan sehari-hari berjalan dengan ramah dan damai.
Flores terbentuk dalam rupa perbukitan yang menawan dengan garis pantai yang tidak kalah menawan. Sekalipun terlihat kering dan berdebu saat kemarau seperti sekarang, panorama alamnya konstan luar biasa. Di samping kanan perbukitan kapur, di samping kiri pantai Laut Sawu yang menghampar. Sesekali cobalah menyusuri pantai selatan Flores sore hari agar bisa mengejar matahari terbenam. Kita dapat memandang di seberang pantai ada sebuah pulau agak besar. Itulah pulau Ende. Kita bisa mengunjunginya dengan kapal yang setiap hari pulang pergi kesana.
Lain kampung, lain pula makanannya. Dengan kondisi geografis berupa pantai dan perbukitan atau gunung kita dapat menjumpai makanan yang berbeda dari masyarakat Ende. Kawasan pantai menyajikan hidangan ikan segar hampir setiap hari. Kita dapat menjumpai anak-anak yang menjual ikan, gurita, dan lobster di pinggir jalan ketika siang hari. Lain halnya dengan masyarakat di daerah gunung. Mereka terbiasa menyantap sayuran yang ditanam di kebun atau membeli di pasar. Kalau sedang musim sayur jipang, mereka dapat memasak variasi sayur tersebut dalam beberapa hari. Meski berada di kawasan yang subur, masyarakat di daerah pegunungan tidak serta merta dapat membeli aneka macam sayuran dengan leluasa. Selain komoditi tanaman yang mungkin hanya beberapa jenis, hari pasar tidak jatuh 2 hari sekali. Sehingga kebutuhan mereka dipenuhi selama satu pekan sekali pada hari pasar. Itu pun jika mereka berkenan untuk menunggu otto atau kendaraan yang hanya beroperasi pada jam tertentu atau bahkan hari tertentu. Sistem transportasi yang masih jarang mengharuskan mereka untuk berbelanja pada hari pasar. Mereka pun mengatur agenda bepergiaan sesuai dengan jadwal otto yang mengangkut penumpang.
Sepertinya kali ini tidak bercerita tentang miniatur Indonesia ya? Mungkin lain kali bahasannya lebih tepat. Penulisnya sedang unfit. Doakan lekas sembuh guys..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...