Jilvia
Indyarti | Guru Bimbingan dan Konseling |SM3T Angkatan V LPTK Unnes
November
masih dalam hitungan jari. Artinya masih ada 10 bulan yang akan terlewati di
tanah pembuangan Soekarno. Ende merupakan sudut Flores yang menakjubkan.
Masyarakat, kultur, agama, toleransi dan segala macam lanskap alamnya juara.
Jangan berpikir Kelimutu saja. Jangan berpikir Bung Karno saja. Tengoklah
barang seminggu dan kau akan temukan alasan mengapa tanah ini disebut sebagai
Miniatur Indonesia oleh masyarakatnya.
Persoalan
pertama yang dihadapi sudah tentu budaya dan unsur didalamnya. Hal-hal seperti
tolerani agama, mata pencaharian, bahasa, kebiasaan, sistem adat dan sebagainya
harus disikapi dengan baik agar kami bertahan setidaknya satu tahun kedepan.
Kami selaku pendatang yang kebanyakan fresh
graduate benar-benar memiliki pengalaman merantau yang luar biasa. Mau
tidak mau kami harus terbiasa dengan aksen Ende Lio kemudian belajar kata demi
kata. Toleransi beragama di Ende sungguh luar biasa. Kami hidup berdampingan
tanpa ada gesekan berarti dan benar-benar akrab satu sama lain. Di kota Kabupaten
Ende, kehidupan toleransi sangat kental. Warga melakukan aktivitas tanpa
terbebani urusan SARA. Jika kita sudah memasuki perkampungan yang agak jauh
dari pusat kota. Adakalanya kita menemukan kampung muslim atau non muslim. Bisa
jadi campuran muslim dan non muslim. Sepanjang sejarah, mereka tidak pernah
menghadapi konflik besar. Kehidupan sehari-hari berjalan dengan ramah dan
damai.
Flores
terbentuk dalam rupa perbukitan yang menawan dengan garis pantai yang tidak
kalah menawan. Sekalipun terlihat kering dan berdebu saat kemarau seperti
sekarang, panorama alamnya konstan luar biasa. Di samping kanan perbukitan
kapur, di samping kiri pantai Laut Sawu yang menghampar. Sesekali cobalah
menyusuri pantai selatan Flores sore hari agar bisa mengejar matahari terbenam.
Kita dapat memandang di seberang pantai ada sebuah pulau agak besar. Itulah
pulau Ende. Kita bisa mengunjunginya dengan kapal yang setiap hari pulang pergi
kesana.
Lain
kampung, lain pula makanannya. Dengan kondisi geografis berupa pantai dan perbukitan
atau gunung kita dapat menjumpai makanan yang berbeda dari masyarakat Ende.
Kawasan pantai menyajikan hidangan ikan segar hampir setiap hari. Kita dapat
menjumpai anak-anak yang menjual ikan, gurita, dan lobster di pinggir jalan
ketika siang hari. Lain halnya dengan masyarakat di daerah gunung. Mereka
terbiasa menyantap sayuran yang ditanam di kebun atau membeli di pasar. Kalau
sedang musim sayur jipang, mereka dapat memasak variasi sayur tersebut dalam
beberapa hari. Meski berada di kawasan yang subur, masyarakat di daerah
pegunungan tidak serta merta dapat membeli aneka macam sayuran dengan leluasa.
Selain komoditi tanaman yang mungkin hanya beberapa jenis, hari pasar tidak
jatuh 2 hari sekali. Sehingga kebutuhan mereka dipenuhi selama satu pekan sekali
pada hari pasar. Itu pun jika mereka berkenan untuk menunggu otto atau
kendaraan yang hanya beroperasi pada jam tertentu atau bahkan hari tertentu. Sistem
transportasi yang masih jarang mengharuskan mereka untuk berbelanja pada hari
pasar. Mereka pun mengatur agenda bepergiaan sesuai dengan jadwal otto yang
mengangkut penumpang.
Sepertinya
kali ini tidak bercerita tentang miniatur Indonesia ya? Mungkin lain kali bahasannya
lebih tepat. Penulisnya sedang unfit. Doakan lekas sembuh guys..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar