Minggu, 04 Februari 2018

Mengantuk di Kelas?

Kejadian yang menimpa Guru Kesenian di Jatim melukai hati seluruh guru di tanah air. Duel yang berakhir maut tersebut memberikan kita renungan, tantangan sebagai seorang guru semakin sulit dan beresiko. Guru mencubit siswa di kelas bisa dilaporkan orangtuanya ke polisi. Siswa ditegur karena tidur saat jam pelajaran berlangsung, langsung mengajak duel. Pencabulan terhadap anak dibawah umur oleh guru langsung menuai reaksi keras bagi orang tua dan aktivis pendidikan. Apakah sekolah yang merupakan zona aman bagi anak dan generasi muda sedang mengalami masa-masa kritis?

Saya sering menjumpai anak-anak yang merasa bosan dengan metode mengajar guru di kelas. Kalau mau fair memandang dari sisi siwa dan guru, tentu menjadi tantangan yang cukup sulit di jaman now ini. Semasa sekolah dulu, saya menjumpai guru yang tidak mengasyikkan ketika menjelaskan materi pelajaran. Beberapa diantara mereka seolah dikejar deadline materi demi materi. Yang lainnya kesulitan menjelaskan dengan keterbatasan kemampuan public speaking. Itu pengalaman jaman saya SMP dan SMA sekitar tahun 2000an. Teman-teman saya yang suka main bola/futsal lebih berpeluang mengantuk di jam sosial seperti Sejarah, Bahasa Indonesia atau Seni. Dulu saya sempat berikrar "Kalau jadi guru, saya mau mengajar dengan kemampuan diatas mereka. Jauh diatas mereka". Faktanya, sampai sekarang saya masih kesulitan untuk membuat kelas selalu hidup dengan respon dan keaktifan siswa. Dari situ saya menyadari, tantangan mengelola kelas bukan hanya soal wawasan tetapi juga kepribadian yang benar-benar unik.

Persoalan yang menyulut duel guru dan murid tersebut memang perkara klasik. Siapa yang tidak pernah mengantuk dikelas? Siapa yang pernah tidur dikelas? Di jenjang perkuliahan saya lebih sering mengantuk daripada berapi-api mendengarkan ceramah dosen. Padahal di SMA saya hanya sekali dua kali merasakan kantuk luar biasa. Itupun karena sebelumnya mengikuti kegiatan diluar sekolah. Saya jadi tergelitik tentang siswa yang tertidur dikelas. Timbul 2 pertanyaan yang ingin saya ajukan. Yang pertama dari sisi murid, apakah siswa tersebut begadang atau kelelahan pada malam sebelumnya sehingga dia mengantuk? Orang dewasa yang memiliki aktivitas fisik berlebihan kadang mengantuk dikemudian harinya. Efek kelelahan mempengaruhi performa kita. Mengantuk adalah efek yang normal dari tubuh yang kelelahan. Apalagi remaja yang belum genap 18 tahun jika usai melakukan aktivitas yang berlebihan. Tentu merasakan kondisi mengantuk. Beberapa orang juga memiliki karakter mudah mengantuk meskipun di jam pertama atau jam terakhir. Yang kedua dari sisi guru, apakah metode mengajar guru tersebut membosankan? Melihat kepribadian, cara mengajar, wawasan seorang guru kita bisa menaksir bagaimana kemampuannya mengajar di kelas. Guru yang memenuhi kriteria tersebut belum tentu mampu membuat semua murid terjaga dan antusias. Karena memang bukan hanya soal kemampuan guru semata yang membuat kelas terasa hidup. Disaat guru memiliki performa maksimal akan percuma ketika murid sedang dalam kondisi yang tidak prima. Begitupun sebaliknya, apabila siswa antusias dengan sebuah jam pelajaran sedangkan guru tidak mampu membuat kelas menjadi hidup terjadilah situasi 'bertepuk sebelah tangan'.

Saya tidak ingin menghakimi siapa yang salah dan siapa yang benar. Namun saya mencoba melihat dari sisi yang berbeda. Tantangan bagi guru sungguh bukan hal yang sederhana. Guru dituntut mampu menguasai materi yang diampunya agar mumpuni dalam menyampaikannya di kelas. Itu saja tidak cukup dan tidak pernah cukup. Guru tidak boleh tidak, memiliki kepribadian yang baik. Dari kepribadian merekalah siswa dapat menjadikannya referensi bersikap. Jika memiliki keunikan seperti bermain biola, bisa dijadikan sebagai wahan mengusir penat di kelas jam terakhir. Yang selanjutnya yakni kebutuhannya untuk selalu berkembang dan menangkap isu-isu kekinian. Guru bukanlah media transfer ilmu semata. Mereka menyampaikan ilmu disertai pemaknaan agar siswa dapat mengambil hikmah. Memang tidak harus guru memiliki akun vlog, posting aktivitas di instagram dan berkomen ria dengan murid. Tidak harus. Namun melek teknologi menjadi syarat untuk memahami karakter siswa. Jangan sampai siswa sudah lihai berselancar tidak karuan di lini masa, gurunya masih tidak tahu caranya membuat blog. Itu rentang budaya yang terlampau jauh.

Oleh karena itu, tantangan guru tidaklah sesederhana membuat power point di awal tahun 2000. Guru selayaknya tumbuh dan berkembang bersama siswanya dengan kearifan yang dibawanya sebagai orang dewasa. Mudah-mudahan tidak ada lagi duel serupa yang membuat dunia pendidikan berduka.

Saya yakin, harapan untuk wajah remaja Indonesia yang berakhlak mulia masih layak hidup dihati para orangtua dan guru. Begitupun harapan siswa untuk mendapatkan guru-guru terbaik dalam setiap jenjang pendidikan mereka

Jilvia Indyarti
Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Semarang 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...