Jumat, 02 Februari 2018

Jembatan dan Papan Seluncur

Menyangkal luka, mengutuk diri sendiri, memutus hubungan dengan orang lain adalah beberapa hal yang kita pikir benar tetapi secara hakiki salah. In the same case, kita menyeberangi wahana jembatan seperti kita bermain prosotan atau papan seluncur. Kita melakukan hal² yang justru tidak tepat. Sebuah jembatan sudah selayaknya diseberangi bukan duduk diatasnya lantas menunggu badan kita meluncur. Bisakah kita menikmatinya? Saya pikir tidak.

Parahnya, pola pikir dan kebiasaan tersebut seringkali menghinggapi kebanyakan orang dewasa daripada anak². Kita seringkali marah melihat orang lain salah namun memaklumi diri sendiri ketika salah. Orang lain mencela kerja kita, lebih banyak pembelaan terhadap diri ketimbang terimakasih. Jika selamanya kita berpikir dan bersikap demikian, bagaimana akan menikmati setiap momen yang mendewasakan? Bagaimana kita menerima rasa sakit akibat ditinggalkan jika kita masih marah-marah bertanya "apa salah dan dosaku?"

Berterimakasih pada mereka yang mengingatkan, merenungi setiap kesalahan dan belajar darinya atau menahan amarah ketika dicela ternyata jauh lebih menyehatkan ketimbang menyikapinya dengan tidak tepat. Sehat secara batin, sehat secara fisik. Ada banyak cerita tentang kekesalan, tidak terima, kecewa dan sebagainya yang berkeliaran disekitar kita. Lalu apa yang harus diperbuat ketika melihat orang dekat kita menjalani hidupnya dengan tidak tepat? Bukan hal sulit untuk mendukung mereka menjalani hidup dengan semestinya. Tidak perlu khawatir tentang keunikan atau karakter khas dari setiap orang akan hilang ketika kita hidup di rute yang benar. Semuanya akan menjadi baik ketika jiwa yang berada dalam diri berada dalam kondisi sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...