Selasa, 14 Februari 2017

Have a Song on Your Lips [ sesi II ]

Kehidupan anak-anak selayaknya seperti anak-anak pada umumnya. Mereka memiliki waktu untuk bermain dan mengembangkan kemampuan mereka dengan mengikuti les atau menekuni hobi. Kondisi ini tidak bisa dialami oleh Kuwahara. Ia adalah anggota baru dalam klub paduan suara. Kualitas suaranya bisa dibilang luar biasa untuk remaja yang tidak pernah masuk klub paduan suara. Teman-teman sesama anggota baru malah meminta diajari untuk memiliki vokal yang bagus seperti dirinya.

Kuwahara merupakan bungsu yang memiliki kakak laki-laki berkecenderungan down syndrome. Setiap hari ia harus mengantar kakaknya membantu di gerai milik tetangganya dan menjemputnya sepulang sekolah. Begitu setiap berangkat dan pulang sekolah. Ia mendapat tugas mulia dari kedua orang tuanya yang sibuk bekerja. Bagaimana ia hendak menolak jika hanya dirinya yang bisa diandalkan? Bertahun-tahun hidupnya demikian sampai ia memilih masuk klub paduan suara. Pada latihan pertamanya, Kuwahara terlambat menjemput kakaknya. Ayahnya marah besar, tetapi ibunya dengan lembut menanyakannya. Kondisi yang serba sulit membuatnya meninggalkan klub. Ia tidak tega dengan kakaknya dan orang tuanya. Pada latihan berikutnya ia tidak hadir. Ketidakhadirannya membuat Kashiwagi sensei menitipkan tugas membuat surat kepada teman sekelasnya. Ia memberanikan diri untuk meminta ijin masuk klub. Tak disangka, ibunya bersedia menjemput kakaknya setiap sore. Alhasil Kuwahara bisa kembali mengikuti klub paduan suara.

Pada suatu hari, Kashiwagi sensei menghampiri Kuwahara. Ia mengapresiasi surat yang dibuat muridnya tersebut. Dalam surat tersebut Kuwahara menulis hal yang membuat Kashiwagi terhenyak. Seolah surat tersebut memiliki kekuatan untuk menyentuhnya. Kuwahara sadar bahwa kakaknya sangat bergantung pada orang lain, termasuk dirinya. Ia harus menjaganya setiap saat agar tidak menimbulkan kekacauan. Ia menganggap bahwa kehadirannya dalam keluarga semata-mata untuk menjaga kakakknya setelah mereka berdua meninggal. Kuwahara tidak mengeluh. Justru merasa bertanggungjawab atas kakaknya. Jika kakaknya tidak mengalami down syndrome, dirinya tak akan dilahirkan. Orangtuanya hanya akan memiliki kakaknya. Karena merasa kakaknya butuh seorang adik, orang tuanya memutuskan untuk memberikannya saudara. Kuwahara menjaga kakaknya dan ingin menjaganya sampai kapanpun. Itulah hidupnya. Ia tidak lagi cemas akan masa depan karena ia tahu bahwa hidupnya semata-mata demi kakaknya.

Adegan ini menyentuh sekali ditambah dengan kata-katanya saat menolak tumpangan gurunya. Ia berkata "Tidak usah, tidak apa-apa. Aku senang berjalan bersamanya. Aku senang menghabiskan waktu bersamanya". Menjadi adik dari seseorang yang memiliki down syndrome memang tidak mudah dijalani. Kita harus belajar bersabar sesabar-sabarnya. Mimpi dan cita-cita yang utopis tetapi dimiliki oleh semua remaja harus dikikis agar tetap realistis. Saya melihat betapa dewasanya Kuwahara menjalani perannya. Ia tidak mengeluh akan tanggungjawabnya. Meskipun hal tersebut bukan hal yang dilakukan kebanyakan orang. Sadar akan keinginannya, ia pun mau mengutarakannya kepada orang tua. Walaupun Ayahnya menolak karena sudah kerepotan dengan urusan kakaknya. Ia tetap berusaha dan legowo ketika keadaan tidak memungkinkan untuk mengikuti klub.

Anak-anak yang dibesarkan dengan keterbatasan dan kesulitan, lebih banyak belajar tentang kesederhanaan dan sikap menerima. Mereka bukan tidak memiliki keinginan. Mereka justru memiliki lebih banyak keinginan daripada teman-teman mereka. Pada satu sisi mereka paham bahwa hidupnya dan hidup orang lain sungguh berbeda. Ini hidupnya dan itu hidup mereka. Kuwahara sadar, ia memiliki kehidupan yang berbeda dengan teman-temannya. Namun ia memiliki ketegaran hati yang besar untuk anak seusianya.

Jilvia 👒

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...