Langit
masih menyisakan mendung semalam. Walau hujan tidak turun membombardir tanah
ini. Bekas air yang turun hari-hari sebelumnya masih basah disana sini. Semua
pekerjaan rumah selesai dikerjakan. Tinggal membereskan buku-buku yang berserak
karena ludes terbaca akhir-akhir ini.
Diluar
rumah, anak kecil menangis perlahan. Awalnya tak curiga telah terjadi sesuatu
padanya. Lama-lama tidak tahan juga ingin menengok karena sudah cukup lama ia
menangis. Sebelum membuka pintu depan kulihat dari balik jendela kaca yang
terbuka kordennya. Tampak sang ibu sedang “meradang” karena anaknya tidak mau
pulang juga meski sudah dipaksa sedari tadi.
Akhirnya,
pintu terbuka. Rasanya memang tidak tepat bertanya-tanya sok peduli pada urusan
rumah tangga orang lain. Tetapi.. Hei, kalau urusan rumah tangga sampai terbawa
keluar rumah siapa hendak acuh ketika melihat? Bertanya tanpa jawaban. Seolah
anak dan ibu hanya berdua saja dan tidak ada orang lain yang melihat. Serba
salah. Pintu kembali tertutup.
Orang yang tidak
bisa marah terhadap hal-hal buruk biasanya kekurangan antusiasme untuk
melakukan hal-hal baik.
Begitu kalimat bijak yang penah saya temukan. Sang ibu marah karena anaknya
enggan pulang. Menurut kalimat bijak tersebut sikap sang ibu memang benar.
Ketika persoalannya dihadapkan pada cara mengajak pulang dan menasehati agaknya
kurang tepat. Sembari memegangi batang kayu kecil dan menggunakan intonasi
tinggi, sang ibu mengajak anaknya pulang. Anak kecil mana yang tidak merasa
terancam ketika dimaki dan diancam akan dipukul oleh orang dewasa? Bahkan orang
dewasa pun akan ketakutan jika diperlakukan demikian.
Teringat
sebuah nasehat yang diberikan Jean Marais kepada Minke dalam tetralogi Buru,
“sebagai terpelajar kau harus adil bahkan sejak dalam pikiran”. Ibu yang meradang
pada anaknya bukan serta merta sang ibu galak. Bisa saja anak dipaksa pulang
dahulu untuk sarapan dan mandi. Orang tua dengan berbagai latar pendidikan dan
lingkungan sosial yang berbeda memiliki bekal mendidik anak yang berbeda pula.
Tidak sedikit orang tua yang merasa putus akal untuk menghadapi kelakuan anak
yang semakin beragam. Anak yang diperlakukan kasar akan menjadi pembangkang.
Sedangkan orang tua harus memberitahukan sikap yang benar dari seorang anak. Tak
jarang mereka yang tidak tahu harus berbuat apa terhadap anaknya malah memaki,
mengancam atau membiarkan anaknya salah.
Adil
sejak dalam pikiran artinya tidak serta merta menuduh seseorang dengan tuduhan
yang tidak berdasarkan pada fakta yang ada. Kita melihat ibu memarahi anak
dengan nada keras. Selalu ada alasan seseorang bertindak sesuatu. Sebagian
besar dari kita mengetahui keadaan orang tersebut secara parsial atau sebagian
sehingga sangat mungkin pemikiran kita tidak serupa dengan keadaan orang
tersebut.
Butuh
waktu untuk belajar adil. Semua hal disekitar kita bisa mengajarkan sikap adil
itu diantaranya pengalaman sehari-hari, membaca buku, atau berdiskusi. Semoga
bisa terus belajar memperbaiki diri sejak dalam pikiran :)
@cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar