Jumat, 21 November 2014

Adil Sejak Dalam Pikiran, Jil


Langit masih menyisakan mendung semalam. Walau hujan tidak turun membombardir tanah ini. Bekas air yang turun hari-hari sebelumnya masih basah disana sini. Semua pekerjaan rumah selesai dikerjakan. Tinggal membereskan buku-buku yang berserak karena ludes terbaca akhir-akhir ini.
Diluar rumah, anak kecil menangis perlahan. Awalnya tak curiga telah terjadi sesuatu padanya. Lama-lama tidak tahan juga ingin menengok karena sudah cukup lama ia menangis. Sebelum membuka pintu depan kulihat dari balik jendela kaca yang terbuka kordennya. Tampak sang ibu sedang “meradang” karena anaknya tidak mau pulang juga meski sudah dipaksa sedari tadi.
Akhirnya, pintu terbuka. Rasanya memang tidak tepat bertanya-tanya sok peduli pada urusan rumah tangga orang lain. Tetapi.. Hei, kalau urusan rumah tangga sampai terbawa keluar rumah siapa hendak acuh ketika melihat? Bertanya tanpa jawaban. Seolah anak dan ibu hanya berdua saja dan tidak ada orang lain yang melihat. Serba salah. Pintu kembali tertutup.
Orang yang tidak bisa marah terhadap hal-hal buruk biasanya kekurangan antusiasme untuk melakukan hal-hal baik. Begitu kalimat bijak yang penah saya temukan. Sang ibu marah karena anaknya enggan pulang. Menurut kalimat bijak tersebut sikap sang ibu memang benar. Ketika persoalannya dihadapkan pada cara mengajak pulang dan menasehati agaknya kurang tepat. Sembari memegangi batang kayu kecil dan menggunakan intonasi tinggi, sang ibu mengajak anaknya pulang. Anak kecil mana yang tidak merasa terancam ketika dimaki dan diancam akan dipukul oleh orang dewasa? Bahkan orang dewasa pun akan ketakutan jika diperlakukan demikian.
Teringat sebuah nasehat yang diberikan Jean Marais kepada Minke dalam tetralogi Buru, “sebagai terpelajar kau harus adil bahkan sejak dalam pikiran”. Ibu yang meradang pada anaknya bukan serta merta sang ibu galak. Bisa saja anak dipaksa pulang dahulu untuk sarapan dan mandi. Orang tua dengan berbagai latar pendidikan dan lingkungan sosial yang berbeda memiliki bekal mendidik anak yang berbeda pula. Tidak sedikit orang tua yang merasa putus akal untuk menghadapi kelakuan anak yang semakin beragam. Anak yang diperlakukan kasar akan menjadi pembangkang. Sedangkan orang tua harus memberitahukan sikap yang benar dari seorang anak. Tak jarang mereka yang tidak tahu harus berbuat apa terhadap anaknya malah memaki, mengancam atau membiarkan anaknya salah.
Adil sejak dalam pikiran artinya tidak serta merta menuduh seseorang dengan tuduhan yang tidak berdasarkan pada fakta yang ada. Kita melihat ibu memarahi anak dengan nada keras. Selalu ada alasan seseorang bertindak sesuatu. Sebagian besar dari kita mengetahui keadaan orang tersebut secara parsial atau sebagian sehingga sangat mungkin pemikiran kita tidak serupa dengan keadaan orang tersebut.
Butuh waktu untuk belajar adil. Semua hal disekitar kita bisa mengajarkan sikap adil itu diantaranya pengalaman sehari-hari, membaca buku, atau berdiskusi. Semoga bisa terus belajar memperbaiki diri sejak dalam pikiran :)
@cilacap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...