Jumat, 31 Januari 2014

Perempuan Kartini



Kehidupan perempuan sarat cerita dan makna apabila kita gali dengan cermat dan dari berbagai aspek kehidupan. Membicarakan perempuan seperti kita membicarakan dunia dan seisinya, lengkap. Syauqi yang seorang penyair menggambarkan perempuan sebagai lembaga pendidikan yang apabila perempuan tersebut dipersiapkan dengan baik, ia sesungguhnya telah mempersiapkan generasi tangguh. Dalam diri perempuan kita temukan cinta kasih yang diabadikan pada sebuah lagu "Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia". Saya rasa, beruntung sekali menjadi seorang perempuan yang telah Allah jaga dalam berbagai perlindungan melalui paket lengkap aturan untuk dirinya.

Kita tentu tak akan lupa dengan seorang perempuan yang hari lahirnya selalu kita peringati. 21 April milik Kartini, hanya milik Kartini. Bukan hari lahir Cut Nyak Dien, Malahayati, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan atau Maria Tiahahu. Hari bersejarah itu sengaja diambil milik Kartini. Apakah karena Kartini memilih jalur perjuangan yang berbeda dari rekan-rekan perempuan lainnya? Ia tidak mengangkat senjata menggantikan suaminya di medan tempur atau tak mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat pribumi. Ia lebih memilih berkirim surat dan menulis dalam masa pingitannya sebagai perempuan Jawa.

Mengapa hari lahir Kartini yang diperingati orang seluruh negeri dan bangsa? Apakah karena Ia cenderung kooperatif dan memberikan keuntungan bagi penjajah pada saat itu? Kita telah tahu bahwasanya Kartini terus berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya seperti pasangan suami-istri Abendanon, Estelle Zeehandelaaar, Van Kol, dkk. Ia sebenarnya juga membatik dan melukis dengan hasil yang cukup lumayan dan melakukan kegiatan diluar rumah. Istilah pingitan itu saya sebenarnya pun ragu, apakah benar-benar diterima oleh Kartini atau tidak. Akses untuk mendapatkan buku dan majalah masih bisa didapatkannya dengan kualitas bacaan yang tidak sembarangan. Aktivitas surat menyuratnya dengan sahabat penanya pun berbuah puluhan surat balasan.

Dalam masa pingitan yang dijalaninya, Kartini selalu membaca dan membaca apa saja yang bisa dibacanya. Sebagai perempuan, ia banyak menyoroti kehidupan sosial di negerinya. Tentang kehidupan seniman didaerahnya yang sangat miskin, kehidupan keluarganya yang poligami dengan budaya yang melekat padanya, akses pendidikan yang sangat sulit ia dapat dari ayahnya dan sebagainya. Diskusinya dengan sahabat penanya diwarnai 'curhatan' tentang itu semua disamping berbagai analisis bacaan buku yang ia selesaikan pada waktu itu.

Pada masa itu, Islam sudah menjadi bagian dari kehidupan pejabat dan keluarganya. Kartini mengaku ia Islam karena mengikuti turunan dari orang tuanya. Sayang sekali, ia memeluk Islam karena diturunkan oleh orang tuanya tetapi ia merasakan ketidakpuasan terhadap keyakinannya.  Ia muak dengan bahasa Arab yang tidak dia mengerti sementara ketika bertanya pada orang disekitarnya mereka pun tida mengerti pula. Kartini bukan orang orang bodoh yang mudah untuk ikut-ikutan sesuatu hal. Ia butuh tahu landasan ia melakukan sesuatu. Maka Islam dalam dirinya melekat tanpa didasari logika akalnya, alhasil ia mengagungkan kebajikan yang diajarkan juga dalam Protestan, Hindu dan agama lain. Baginya Tuhan adalah kebajikan itu sendiri. 

Pendidikan yang diterimanya sepenuhnya barat hingga buku bacaan yang dilahapnya sekalipun itu novel. Beruntungnya Kartini memperoleh pendidikan rendah karena ia anak seorang pejabat. Ia pun memiliki saudara laki-laki yang berkenan diajak berdiskusi dan berbagi cerita dengannya. Sebelum memasuki masa pingitan ia telah memiliki beberapa orang teman yang kemudian tetap berhubungan dengannya melalui surat, termasuk Abendanon yang membukukan surat-suratnya dikemudian hari. Dari usia belasan hingga ajalnya, ia meng-upgrade- diri dengan membaca, menulis surat dan berdiskusi dengan orang terdekatnya misal Ayah dan Abangnya. Pendidikan barat yang sempat dinikmati Kartini merupakan titik awal kebangkitan pikirannya. Ia sempat bercita-cita ingin ke Belanda untuk belajar. Ketika ia sampaikan niatnya kepada Ayahnya, ijin pergi belajar tak didapatnya. 

Anak perempuan yang paling berhasrat untuk sekolah itu tidak pernah bersinggungan ramah dengan saudari-saudarinya. Tentu hal itu disebabkan karena mereka tak sejalan pikiran dengan Kartini. Selain itu, hubungan seayah beda ibu cukup menjadi alasan untuk memperlebar jarak diantara mereka. Ibu Kartini bukanlah Ibu sah pertama, melainkan istri kesekian dari Ayahnya. Walaupun demikian, Ayahnya sangat mencintai Kartini. Segala sesuatu yang dilakukannya harus seijin Ayah tercintanya. Jika suatu perkara tidak diperkenankan baginya, Kartini menguburnya dan menerima dengan penuh ke-sadar diri-an. Ia mendapatkan didikan barat tetapi hidup dalam budaya feodal yang mencekiknya. Segala yang ia impikan harus terhenti karena pingitan dan ia seorang perempuan.

Begitulah kehidupan salah seorang perempuan yang namanya abadi dalam sejarah negeri ini. Saya membacanya dari "Panggil Aku Kartini Saja" karangan Pramoedya A. Toer beberapa hari lalu. Akan ada banyak aspek yang dikupas mbah Pram didalam bukunya. Saya mengambil beberapa dari kesekian banyak segi kehidupan Kartini. Semoga berkenan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...