Kehidupan perempuan
sarat cerita dan makna apabila kita gali dengan cermat dan dari berbagai aspek
kehidupan. Membicarakan perempuan seperti kita membicarakan dunia dan seisinya,
lengkap. Syauqi yang seorang penyair menggambarkan perempuan sebagai lembaga pendidikan
yang apabila perempuan tersebut dipersiapkan dengan baik, ia sesungguhnya telah
mempersiapkan generasi tangguh. Dalam diri perempuan kita temukan cinta kasih
yang diabadikan pada sebuah lagu "Kasih ibu kepada beta tak terhingga
sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari
dunia". Saya rasa, beruntung sekali menjadi seorang perempuan yang telah
Allah jaga dalam berbagai perlindungan melalui paket lengkap aturan untuk
dirinya.
Kita tentu tak akan
lupa dengan seorang perempuan yang hari lahirnya selalu kita peringati. 21
April milik Kartini, hanya milik Kartini. Bukan hari lahir Cut Nyak Dien,
Malahayati, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan atau Maria Tiahahu. Hari bersejarah
itu sengaja diambil milik Kartini. Apakah karena Kartini memilih jalur
perjuangan yang berbeda dari rekan-rekan perempuan lainnya? Ia tidak mengangkat
senjata menggantikan suaminya di medan tempur atau tak mendirikan
sekolah-sekolah untuk rakyat pribumi. Ia lebih memilih berkirim surat dan
menulis dalam masa pingitannya sebagai perempuan Jawa.
Mengapa hari lahir
Kartini yang diperingati orang seluruh negeri dan bangsa? Apakah karena Ia
cenderung kooperatif dan memberikan keuntungan bagi penjajah pada saat itu? Kita
telah tahu bahwasanya Kartini terus berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya
seperti pasangan suami-istri Abendanon, Estelle Zeehandelaaar, Van Kol, dkk. Ia
sebenarnya juga membatik dan melukis dengan hasil yang cukup lumayan dan
melakukan kegiatan diluar rumah. Istilah pingitan itu saya sebenarnya pun ragu,
apakah benar-benar diterima oleh Kartini atau tidak. Akses untuk mendapatkan
buku dan majalah masih bisa didapatkannya dengan kualitas bacaan yang tidak
sembarangan. Aktivitas surat menyuratnya dengan sahabat penanya pun berbuah
puluhan surat balasan.
Dalam masa pingitan
yang dijalaninya, Kartini selalu membaca dan membaca apa saja yang bisa
dibacanya. Sebagai perempuan, ia banyak menyoroti kehidupan sosial di
negerinya. Tentang kehidupan seniman didaerahnya yang sangat miskin, kehidupan
keluarganya yang poligami dengan budaya yang melekat padanya, akses pendidikan
yang sangat sulit ia dapat dari ayahnya dan sebagainya. Diskusinya dengan
sahabat penanya diwarnai 'curhatan' tentang itu semua disamping berbagai
analisis bacaan buku yang ia selesaikan pada waktu itu.
Pada masa itu, Islam
sudah menjadi bagian dari kehidupan pejabat dan keluarganya. Kartini mengaku ia
Islam karena mengikuti turunan dari orang tuanya. Sayang sekali, ia memeluk
Islam karena diturunkan oleh orang tuanya tetapi ia merasakan ketidakpuasan
terhadap keyakinannya. Ia muak dengan
bahasa Arab yang tidak dia mengerti sementara ketika bertanya pada orang
disekitarnya mereka pun tida mengerti pula. Kartini bukan orang orang bodoh
yang mudah untuk ikut-ikutan sesuatu hal. Ia butuh tahu landasan ia melakukan
sesuatu. Maka Islam dalam dirinya melekat tanpa didasari logika akalnya,
alhasil ia mengagungkan kebajikan yang diajarkan juga dalam Protestan, Hindu
dan agama lain. Baginya Tuhan adalah kebajikan itu sendiri.
Pendidikan yang
diterimanya sepenuhnya barat hingga buku bacaan yang dilahapnya sekalipun itu
novel. Beruntungnya Kartini memperoleh pendidikan rendah karena ia anak seorang
pejabat. Ia pun memiliki saudara laki-laki yang berkenan diajak berdiskusi dan
berbagi cerita dengannya. Sebelum memasuki masa pingitan ia telah memiliki
beberapa orang teman yang kemudian tetap berhubungan dengannya melalui surat,
termasuk Abendanon yang membukukan surat-suratnya dikemudian hari. Dari usia
belasan hingga ajalnya, ia meng-upgrade- diri dengan membaca, menulis surat dan
berdiskusi dengan orang terdekatnya misal Ayah dan Abangnya. Pendidikan barat
yang sempat dinikmati Kartini merupakan titik awal kebangkitan pikirannya. Ia
sempat bercita-cita ingin ke Belanda untuk belajar. Ketika ia sampaikan niatnya
kepada Ayahnya, ijin pergi belajar tak didapatnya.
Anak perempuan yang
paling berhasrat untuk sekolah itu tidak pernah bersinggungan ramah dengan
saudari-saudarinya. Tentu hal itu disebabkan karena mereka tak sejalan pikiran
dengan Kartini. Selain itu, hubungan seayah beda ibu cukup menjadi alasan untuk
memperlebar jarak diantara mereka. Ibu Kartini bukanlah Ibu sah pertama,
melainkan istri kesekian dari Ayahnya. Walaupun demikian, Ayahnya sangat
mencintai Kartini. Segala sesuatu yang dilakukannya harus seijin Ayah
tercintanya. Jika suatu perkara tidak diperkenankan baginya, Kartini
menguburnya dan menerima dengan penuh ke-sadar diri-an. Ia mendapatkan didikan
barat tetapi hidup dalam budaya feodal yang mencekiknya. Segala yang ia impikan
harus terhenti karena pingitan dan ia seorang perempuan.
Begitulah kehidupan
salah seorang perempuan yang namanya abadi dalam sejarah negeri ini. Saya
membacanya dari "Panggil Aku Kartini Saja" karangan Pramoedya A. Toer
beberapa hari lalu. Akan ada banyak aspek yang dikupas mbah Pram didalam
bukunya. Saya mengambil beberapa dari kesekian banyak segi kehidupan Kartini.
Semoga berkenan :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar