Jumat, 11 Desember 2015

Tentang Pulang sebagai Suatu Hal yang Magis



Pernahkah ada pengalaman ketika rasa ingin pulang begitu kuatnya dan ditahan kemudian berujung pada sakit fisik? Variasi rasa sakit tersebut bermacam-macam mulai dari demam, pusing, muntah-muntah dan tidak nafsu makan. Aktivitas sehari-hari menjadi tidak 100% dan mood selalu berubah-ubah. Yang parah berakibat pada hubungan yang tidak harmonis dengan orang lain. Misalnya bertengkar dengan teman, mispersepsi dengan pasangan atau sering hilang dari obrolan komunitas.
Homesick, begitulah yang diistilahkan masyarakat. Kita merasa sangat ingin pulang sekalipun dirumah kita tidak melakukan apa-apa. Pikiran kita hanya tertuju pada kepulangan itu. Tidak peduli apakah dirumah kita doing nothing atau tidur sepanjang hari. Berada dirumah dan menikmati setiap detik dibawah atap sendiri menjadi hal langka terutama bagi perantau.
Bagi saya, homesick bukan sesuatu hal yang baru karena sejak kuliah saya sudah jauh dari orang tua dan keluarga saya. Saudara saya banyak yang merantau ke ibukota bahkan pulau lain. LDR dengan orang-orang dekat sudah bukan pengalaman baru. Meskipun bertahun-tahun hidup jauh dengan orang tua, baru setahun ini saya merasa bisa menyingkirkan aura homesick sedikit demi sedikit. 

Riung, Ngada. Flores
Keinginan untuk pulang merupakan kebutuhan psikologis yang menurut saya adalah bagian dari proses “menepi dan menyepi dari rutinitas”. Pekerjaan yang tiada henti setiap harinya membuat kita seperti mesin yang butuh di service. Bedanya, service manusia meliputi dua sisi yaitu lahir dan batin.
Jarak yang lumayan jauh antara rumah dan kota perantauan sudah cukup memenuhi kebutuhan itu. Dalam perjalanan pulang kita bisa lepas dan bebas dari tugas kantor dan mulai berdialog dengan diri sendiri. Perjalanan sesungguhnya adalah pulang kepada diri sendiri. Durasi 3 jam bisa digunakan untuk menepi dari pertanyaan “Kapan deadline ini selesai?” atau “Bagaimana persiapan rapat dengan direksi?”. Pertanyaan yang kita ajukan akan lebih menohok, menusuk hati dan pikiran. Pertanyaan itu seperti “Saya kerja untuk apa?”, “Apakah saya puas dengan hidup saya?”, “Apa yang saya inginkan dalam hidup?’.
    Jika kita menggunakan kendaraan umum dalam kepulangan kita akan ada banyak cerita dan orang yang kita jumpai. Segala hal yang kita lalui dapat dinarasikan dan direnungkan. Kita bisa bercengkrama dengan orang yang berada dibangku sebelah. Berbicara tentang pekerjaan, keluarga, pendidikan dan persoalan sangat ringan yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Disepanjang perjalanan baik itu pesawat, kereta, bus, maupun kapal kita melewati banyak pemandangan yang silih berganti. Kita dapat melihat segumpalan awan ketika menumpang pesawat, melihat kota dari sebelah atasnya, menemukan gugusan pulau kecil dan sebagainya. Kita menemukan sesuatu yang berbeda bahkan jika rute itu sudah ratusan kali kita lewati. Selalu ada cerita yang berbeda ketika kita melewati jalan pulang. Dan itu semua membawa kita pada perenungan demi perenungan yang ajaib.
Apakah sesuatu yang ajaib itu? Hanya diri kitalah yang sanggup menjawabnya. Karena kepulangan itu bukan saya atau mereka yang melakukannya tetapi kamu. Perenungan yang tercipta pun adalah hasil olah pikirmu sendiri akan partisi hidup yang beraneka warna dan rupa.
Hal kedua tentang kepulangan adalah bukan seberapa penting hal yang akan kita lakukan dirumah kita. Namun seberapa puas kita berada di rumah. Kadang setelah pulang kita malah asik bermesra dengan bantal-bantal atau duduk santai dengan keluarga. Tidak melakukan aktivitas berat dan melelahkan. Memberi kesempatan lahir dan batin untuk off dari penat. Ada juga perantau yang justru hanya merindukan tidur dengan bantal kesayangannya atau sekadar menikmati oseng buatan Ibu yang harganya tidak sampai 10 ribu.
Hari ini dan kini, banyak sekali hal sederhana yang semakin mahal untuk kita dapatkan. Ketenangan yang benar-benar menyembuhkan harus direngkuh setelah kita menempuh perjalanan ribuan kilometer. Kita senang diperantauan, tapi memang harus ada rumah yang kita tuju untuk kembali. Tidak peduli apakah itu di kampung terjauh atau di rumah yang jaraknya hanya 300 meter dari tempat kerja. Kepulangan bukan soal kemanjaan seorang anak karena orang dewasa pun rindu untuk pulang. Ia merupakan seuatu yang magis. Ada sekian pertanyaan berat yang diajukan orang-orang ketika kita pulang. Ajaibnya, kita menjadi seseorang yang lebih baru. Lebih bertenaga untuk melanjutkan hidup.
Pulanglah,
karena ada yang menunggumu disana.. Pulanglah, dengan begitu kamu tahu bahwa rindu telah digenapi dan mimpi harus dirangkai lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...