Pernahkah ada pengalaman ketika rasa
ingin pulang begitu kuatnya dan ditahan kemudian berujung pada sakit fisik?
Variasi rasa sakit tersebut bermacam-macam mulai dari demam, pusing,
muntah-muntah dan tidak nafsu makan. Aktivitas sehari-hari menjadi tidak 100%
dan mood selalu berubah-ubah. Yang
parah berakibat pada hubungan yang tidak harmonis dengan orang lain. Misalnya
bertengkar dengan teman, mispersepsi dengan pasangan atau sering hilang dari
obrolan komunitas.
Homesick,
begitulah yang diistilahkan masyarakat. Kita merasa sangat ingin pulang
sekalipun dirumah kita tidak melakukan apa-apa. Pikiran kita hanya tertuju pada
kepulangan itu. Tidak peduli apakah dirumah kita doing nothing atau tidur sepanjang hari. Berada dirumah dan
menikmati setiap detik dibawah atap sendiri menjadi hal langka terutama bagi
perantau.
Bagi
saya, homesick bukan sesuatu hal yang
baru karena sejak kuliah saya sudah jauh dari orang tua dan keluarga saya.
Saudara saya banyak yang merantau ke ibukota bahkan pulau lain. LDR dengan orang-orang dekat sudah bukan
pengalaman baru. Meskipun bertahun-tahun hidup jauh dengan orang tua, baru
setahun ini saya merasa bisa menyingkirkan aura homesick sedikit demi sedikit.
Keinginan
untuk pulang merupakan kebutuhan psikologis yang menurut saya adalah bagian
dari proses “menepi dan menyepi dari rutinitas”. Pekerjaan yang tiada henti
setiap harinya membuat kita seperti mesin yang butuh di service. Bedanya, service
manusia meliputi dua sisi yaitu lahir dan batin.
Jarak
yang lumayan jauh antara rumah dan kota perantauan sudah cukup memenuhi
kebutuhan itu. Dalam perjalanan pulang kita bisa lepas dan bebas dari tugas
kantor dan mulai berdialog dengan diri sendiri. Perjalanan sesungguhnya adalah
pulang kepada diri sendiri. Durasi 3 jam bisa digunakan untuk menepi dari
pertanyaan “Kapan deadline ini selesai?” atau “Bagaimana persiapan rapat dengan
direksi?”. Pertanyaan yang kita ajukan akan lebih menohok, menusuk hati dan
pikiran. Pertanyaan itu seperti “Saya kerja untuk apa?”, “Apakah saya puas
dengan hidup saya?”, “Apa yang saya inginkan dalam hidup?’.
Jika kita
menggunakan kendaraan umum dalam kepulangan kita akan ada banyak cerita dan
orang yang kita jumpai. Segala hal yang kita lalui dapat dinarasikan dan
direnungkan. Kita bisa bercengkrama dengan orang yang berada dibangku sebelah.
Berbicara tentang pekerjaan, keluarga, pendidikan dan persoalan sangat ringan
yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Disepanjang perjalanan baik itu
pesawat, kereta, bus, maupun kapal kita melewati banyak pemandangan yang silih
berganti. Kita dapat melihat segumpalan awan ketika menumpang pesawat, melihat
kota dari sebelah atasnya, menemukan gugusan pulau kecil dan sebagainya. Kita menemukan
sesuatu yang berbeda bahkan jika rute itu sudah ratusan kali kita lewati.
Selalu ada cerita yang berbeda ketika kita melewati jalan pulang. Dan itu semua
membawa kita pada perenungan demi perenungan yang ajaib.
Apakah sesuatu yang ajaib itu?
Hanya diri kitalah yang sanggup menjawabnya. Karena kepulangan itu bukan saya
atau mereka yang melakukannya tetapi kamu. Perenungan yang tercipta pun adalah
hasil olah pikirmu sendiri akan partisi hidup yang beraneka warna dan rupa.
Hal
kedua tentang kepulangan adalah bukan seberapa penting hal yang akan kita
lakukan dirumah kita. Namun seberapa puas kita berada di rumah. Kadang setelah
pulang kita malah asik bermesra dengan bantal-bantal atau duduk santai dengan
keluarga. Tidak melakukan aktivitas berat dan melelahkan. Memberi kesempatan
lahir dan batin untuk off dari penat.
Ada juga perantau yang justru hanya merindukan tidur dengan bantal kesayangannya
atau sekadar menikmati oseng buatan Ibu yang harganya tidak sampai 10 ribu.
Hari
ini dan kini, banyak sekali hal sederhana yang semakin mahal untuk kita
dapatkan. Ketenangan yang benar-benar menyembuhkan harus direngkuh setelah kita
menempuh perjalanan ribuan kilometer. Kita senang diperantauan, tapi memang
harus ada rumah yang kita tuju untuk kembali. Tidak peduli apakah itu di
kampung terjauh atau di rumah yang jaraknya hanya 300 meter dari tempat kerja.
Kepulangan bukan soal kemanjaan seorang anak karena orang dewasa pun rindu
untuk pulang. Ia merupakan seuatu yang magis. Ada sekian pertanyaan berat yang
diajukan orang-orang ketika kita pulang. Ajaibnya, kita menjadi seseorang yang lebih
baru. Lebih bertenaga untuk melanjutkan hidup.
Pulanglah,
karena
ada yang menunggumu disana.. Pulanglah, dengan begitu kamu tahu bahwa
rindu telah digenapi dan mimpi harus dirangkai lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar