Minggu, 27 Desember 2015

Aku Turut Bahagia (*Seharusnya)


Pertemanan layaknya perjalanan dengan kereta atau bus. Kita naik pada tempat yang sama tetapi kita memiliki tujuan akhir yang mungkin berbeda satu dengan yang lain. Aku bisa berhenti di stasiun pertama dan kau bisa berhenti di stasiun berikutnya atau bahkan stasiun terakhir. Kita sangat bisa berhenti di stasiun yang sama.
Jika dirunut sejak awal perjumpaan hingga melenggang hitungan tahun ketiga, keempat dan seterusnya istilah pertemanan kadang berubah menjadi persaudaraan. Tidak semua teman layak mendapatkan posisi sehebat itu. Hanya mereka yang telah ditakdirkan dan tetap bertahan yang benar-benar pantas mendapatkannya. Mereka adalah teman yang selalu kau datangi untuk mencurahkan beban hidup. Seringkali mereka membersamai peristiwa bermakna yang kau lewati. Sekadar menertawai tingkah menyedihkanmu atau bermuka macam-macam di depan lensa kameramu. Mereka sungguhan langka. Kamu membencinya sekaligus mencintainya. Apakah itu namanya?
Hampir sepanjang waktu mereka bersamamu. Hingga tiba saat dimana ia menemukan sosok super spesial dalam hidupnya. Pasangan hidup. Sebutlah kalian sudah satu rumah bertahun-tahun. Kalian melakukan tindakan konyol dan gila bersama. Kemudian ada satu hari dimana ia bersikap lain dari biasanya. Dia begitu dewasa melangkah untuk mengambil peran baru, seorang suami.
Apa yang kamu rasakan saat itu? Senang atau sedihkah? Bagaimana rasanya? Kau seolah bahagia dan sedih secara bersamaan. Ia telah menemukan seseorang yang akan mendukungnya dalam keadaan apapun. Kau bahagia untuk hal itu. Namun di sisi lain, ada hati yang leleh seketika dan tidak berbentuk. Apakah kau benar-benar bahagia? Mengapa rasanya aneh sekali? Sepertinya sakit. Persis sedih. Merasa kehilangan sosok yang selama ini ada untuk berbagi apapun. Ia teman yang baik. Segala macam nasehat telah ia berikan untukmu yang bandelnya maksimal. Kau hanya tidak tahu akan bersama siapa setelah ini. Itu yang kau sedihkan.
Kau bahagia melihatnya telah menggenapkan dien. Sungguh, kau akan melakukan hal serupa. Menikah dan menemukan pasangan yang terbaik. Ah, rasanya aneh sekali. Kau mungkin tidak akan menyapanya seriang dulu karena ada istrinya yang baik. Durasi makan dan hange out kalian akan menyesuaikan jadwal kalian agar bisa turut bergabung. Jika kau merasa kesal dengan sesuatu, kau tidak dapat lagi tiba-tiba duduk di depan meja kerjanya. Saat tengah malam yang gelap, kau tidak bisa memberinya kejutan ulang tahun. Kalian tahu bahwa kenyataannya sudah berbeda. Kalian harus tahu diri untuk menjaga sikap kepada keluarga kecilnya.
Demi apapun, ini menyedihkan. Kau terlihat menyedihkan. Kalian telah terbiasa memanggilnya dengan panggilan kesayangan. Kalian pikir sudah tidak sepantasnya kegilaan ini diteruskan. Ya. Ada batas antara kegilaan kalian dengan rumah tangga. Itulah mengapa kalian ingin turut segera menggenapkan dien. Memang sempurna. Menurut kalian rumah tangga merupakan benteng terkuat bagi kalian. Disanalah kalian mendapatkan pahala berlimpah. Disana pula kalian terus berhijrah meski tiada kawan yang segila dia dan mereka.
Pemahaman kalian telah sampai pada menghargai peran yang ia ambil sekarang. Kalian akui, bahwa perasaan kehilangan itu memang ada. Entah karena alasan apa. Rasa kehilangan tetap ada di dalam hati. Kalian bahagia dan sedih secara bersamaan. Ini konyol bukan? Percayalah ia adalah teman baik kalian. Hijrahnya adalah penyemangat kalian untuk terus memperbaiki diri. Kalian akan lebih semangat belajar dan belajar. Hingga Allah mendatangkan lelaki yang sungguh baik dan menjadikannya jodoh kalian. 

Ende, 27 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...