Minggu, 16 Juli 2023

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengunjung dengan mayoritas datang dari luar kota. Satu per satu orang masuk kebarisan shaf, mengikuti imam yang sudah lebih dulu bertakbir. Semuanya asing, serba baru.

Berbicara tentang perpindahan, hal yang tidak bisa dikompromi adalah segala sesuatunya lahir dari keputusan diri sendiri. Setiap orang yang memutuskan untuk datang kesini tidak perlu lagi berkomentar tentang minimnya fasilitas, cuaca yang lebih terik, atau makanan yang rasanya amat jauh dari kecapan sehari-hari di tanah asal. Kita tidak pernah bisa memilih konsekuensi dari pilihan yang sudah kita buat. Tidak mungkin meminta enak-enaknya saja atau menghilangkan salah satu konsekuensi yang tidak kita inginkan. 

Kita tidak pernah tahu cerita yang akan terjadi esok jika tidak pernah memulai hari ini. Apakah akan sama atau justru menampilkan banyak hal baru yang tidak terduga. Siapa yang hendak bertaruh nasib? Siapa yang hendak mencoba? Apakah kita memiliki hal-hal yang rentan hilang ketika hidup benar-benar menjatuhkan ke titik nadir? Semua orang ternyata bertaruh apapun demi menjalani hidup yang seperti adanya hidup. Ini bukan waktunya bermanis-manis membuat rencana agar bisa bertahan. Toh tidak akan ada yang menahanmu disini kecuali diri sendiri dan tagihan demi tagihan yang harus dibayar. 

Langit pernah hujan, seringkali terik diatas kepala. Terbangun oleh adzan shubuh yang nyaring cukup membantu ritme hidup yang baru. Hari yang melelahkan dimulai dengan satu surah yang menenangkan. Sungguh tangguh orang di luar sana yang rela bangun pagi, bepergian ke luar kota setiap hari demi nafkah yang mungkin harus dipaksa cukup setiap bulannya. Tidak ada yang bersantai di tempat yang jauh dari rumah yang nyaman. Dimana letak bahagia? Bukan dari senyum setiap hari yang mengembang. Apalagi dari lezatnya makanan yang dilahap setiap hari. Mata yang terbuka, lalu seharian berjuang selalu menerima bahwa hidup tidak mudah tetapi masih bisa dijalani dengan tabah. Mereka pergi dan pulang dengan harapan yang penuh dan hati yang teguh.

Burung-burung hinggap diantara besi yang menyembul keluar dari sisa bangunan yang belum selesai. Bebas dengan tujuan yang jelas. Mereka hidup di tengah kota yang orang bilang serba terbatas. Maka, akupun bisa bertahan seperti burung-burung yang hinggap diantara besi-besi dan makan dengan hati yang tenang. Tanpa khawatir akan kelaparan atau kehabisan energi untuk berjuang. Semua orang bisa bahagia dan hidup selayaknya. Tentu pilihan demi pilihan akan tersedia selama tidak menutup pintu rapat-rapat. 

Perpindahan memang melelahkan, bahkan membuat cemas. Semuanya serba abu-abu dan kamu tidak tahu harus merasa seperti apa. Berhenti bertanya apakah menyenangkan, apakah semuanya baik-baik saja? Kamu bingung, kamu berekspektasi semuanya dibawah kendalimu. Tapi hidup tidak sesederhana itu diatur tanganmu yang sangat mungil. Lalu apa yang bisa dilakukan selayaknya manusia selain berusaha untuk tetap ada? Eksistensi membutuhkan pengorbanan yang tidak murah dan kamu tidak pernah memilih untuk mundur dari arena. 


Rabu, 29 Mei 2019

Sebuah Catatan Tentang Depresi

Jika depresi punya wajah, dia akan menampakkan sisi gelap dan terang. Seperti langit yang segera hujan dan yang tergambar adalah mendung yang menyelimut diatas kepala.

Jila depresi punya wajah, kita seringkali melihat gelap dan dingin. Otak kita seolah sudah terprogram, hujan akan turun beberapa saat lagi. Kita diprogram untuk bersiap-siap menggunakan payung atau jas hujan. Sedikit sekali yang berencana menyambut tetesnya tanpa alat perlindungan diri.

Jika depresi punya wajah, kita seakan menutupinya dengan logika aib. Dimana harus ditutup, harus disembunyikan dan segala sesuatu yang bermakna buruk. Hidup yang berat.

Jika depresi bisa disembunyikan, semua orang akan terlihat senyumannya. Tanpa peduli mereka nyaris tak bernyawa dan hidup sekadar hidup. Kita bersama mereka tapi mereka tidak bersama kita. Muncullah duniaku, duniamu. Tidak terhubung satu sama lain. Secara emosi.

Maaf

Hai Diri,

Maafkanlah dirimu sebelum memaafkan orang lain.

Rabu, 03 April 2019

Random [sebuah puisi]


Detak jantung masih saja tidak beraturan meski sudah merapal doa paling dianjurkan. Dengan menyingkirkan lapar dan keringat pikirku akan membantu tetapi sama saja.

Kekhawatiran yang berlebihan beradu kuat dengan kekecewaan. Lalu terbitlah situasi plin plan yang menggemaskan.

Tuhan memberi petunjuk melalui youtube dengan relaksasi sebelum tidur, ceramah ulama yang suaranya lembut, program talkshow inspiratif hingga film bertemakan cinta dan remaja. Hasilnya?

NIHIL

Menyadari bebalnya diri seolah rasanya mau menyerah dam berhenti, tiba-tiba kamu lewat persis didepanku tanpa mau tahu. Sedetik dua detik terasa menyenangkan.

Kemudian teriakan orang-orang mengembalikan kesadaran akan kekhawatiran, kekecewaan dan sedikit penyesalan.

🍁

Kamis, 31 Januari 2019

Kebaikan. Kebaikan. Lagi lagi kebaikan

Akhir pekan yang cukup padat membuat saya pulang agak terlambat. Kolega di kantor yang tersisa hanya 2 orang ekspatriat yang tinggal di asrama. Mereka pulang setelah semua orang beranjak dari kursi dan langit sudah gelap. Saya shalat maghrib di kantor karena adzan sudah berkumandang 15 menit yang lalu.

Kendaraan yang padat merayap di hari Jumat malam adalah situasi biasa. Ditambah lokasi kantor yang berdekatan dengan pintu tol membuat jalanan selalu ramai. Saya harus mengetok angkot karena supirnya tidak melihat saya memberhentikannya. Di kantong ada uang 5000 dan 2 koin 500. Jumlahnya cukup untuk sampai rumah. Teringat handphone yang baru saya beli 2 minggu sebelumnya dan kurang beberapa aksesoris, saya melaju sampai counter.

Awalnya jengkel juga dengan pemilik counter yang tidak mengabari soal kekurangan aksesoris. Setelah bertanya penjaga counter, pemiliknya ramah menyapa. Saya tidak jadi untuk marah atau komplain. Kadang perlakuan kita mempengaruhi reaksi orang lain ya. Bersikap baiklah terlebih dahulu dan lihat betul situasinya sekarang. Mungkin kejengkelan kita hanya karena ketidaktahuan semata. Entah cuma trik penjualan atau memang si pemilik berbaik hati memberi bonus. Dia memberikan tongsis gratis untuk saya. Sebenarnya dipikir-pikir saya seharusnya dapat bonus yang lebih dari sekadar tongsis lho. Memory card mungkin akan sebanding dengan harga handphone saya. But please, ini contoh pelanggan yang kurang bersyukur. Berhubung pemiliknya lumayan ramah, saya terpaksa berbincang lebih lama sambil menunggu handphone dihandle penjaga counter.

Di tempat saya tinggal, ada begitu banyak pondok pesantren yang berkembang. Lokasi tepatnya sebagian besar memasuki perkampungan yang harus diakses dengan naik ojek. Saya pulang naik angkot yang berisikan ibu-ibu, santri, anak muda usia 20an dan bapak pulang yang baru pulang kerja. Sayangnya uang saya tidak ada kembalian. Supir angkot mana mungkin menukar keluar, dia bertanya pada penumpang lain apakah memiliki uang receh. Tak ada satu pun yang memilikinya. Ada seorang santri yang berinisiatif membayarkannya. Katakanlah saya harus membayar 3000rupiah, dia berbaik hati menawarkan diri untuk membayarnya. Tidak saling kenal, bahkan tidak saling menyapa. Situasinya mengalir begitu saja. Saya yang agak bingung merasa tertolong. Pertolongan sederhana yang benar-benar membantu. Saya punya uang yang lebih besar dari 3000 tapi uang saya tidak berguna saat itu. Aneh ya? 🤔 Sesuatu yang membuat otak berpikir keras, bagaimana bisa? Namun saya sangat bersyukur karena masih ada orang yang bersedia membantu sekalipun tidak kenal.

Mengingati ini saya pernah mengalami kejadian serupa dengan posisi sebaliknya. Dalam perjalanan ke kantor tinggallah saya dengan seorang perempuan di angkot. Uangnya 100 ribu yang mana supir angkot tidak memiliki kembalian karena baru berangkat dari rumah. Dialog keduanya singkat tapi tidak menyelesaikan persoalan. Akhirnya saya memberikan 10 ribu kepada supir angkot. Habis perkara. Saya turun sebelum perempuan tadi turun dan dia belum menyadarinya. Semua perbuatan kita ternyata kembali lagi kepada kita. Mungkin tidak persis sama tapi mengajarkan kebaikan yang sama-sama berharga.

Saya sampai di rumah sekitar pukul 8 dan mendapati rumah dalam keadaan sepi. Kakak saya sedang keluar untuk belajanja bulanan. Belum juga mandi, makan, dan beberes kakak saya pulang membawa mie goreng. Dia mengatakan mie gorengnya tidak seenak malam sebelumnya. Mie yang direbus terasa belum matang sempurna. Sekalipun menyesalkan mie yang jauh dari ekspektasi, kami menghabiskannya juga beramai-ramai. Hehe. Sudah kenyang, saya masih sempat mandi dan menyapa teman di whats app sebelum beranjak tidur di hampir tengah malam.

Satu hari yang melelahkan dan berakhir dengan mengesankan. Tuhan Maha Pemurah. Lalu saya menyadari bahwa kebaikan yang Tuhan berikan tidak hanya sekali dua kali diberikan. Melainkan berkali-kali sampai kita meleleh dibuatnya. Sampai kita keheranan, kok bisa? Sampai kita berpikir bahwa hanya kekuasaan Maha Luas yang bisa melakukannya. Tugas kita? Taat.

HARGAI FASEMU

Di sebuah perjalanan pulang kerja dalam sebuah angkot. Seorang laki-laki muda 20tahunan melintas. Mengenakan celana selutut dan kemeja dengan ransel di punggung. Didalam angkot saya bersama dengan beberapa anak SMA yang mengenakan seragam. Kebetulan angkot yang saya tumpangi melewati pintu tol. Berhamburan pekerja-pekerja pabrik dari sebuah bus antar jemput karyawan.

Saya mengingat bagaimana dulu ketika kuliah. Begitu bangganya dengan status mahasiswa meski minim prestasi. Kuliah, pergi ke perpustakaan, mengikuti seminar/pelatihan, bahkan turun ke jalan sama sekali bukan hal yang ajaib. Lelahpun terbayar dengan banyaknya teman dan sesekali curhatan bebas entah beretika atau hanya melepaskan keruwetan pikiran. Tapi saya merasa keren dengan semua itu. Merasa beruntung dengan banyaknya kemudahan hidup. Semua hal yang terjadi bukan tanpa campur tangan Tuhan. Saya keren, apalagi Tuhan saya yang membuat saya keren. Pasti jauh jauh jauh lebih keren dari semua bayangan saya.

Melihat orang-orang yang berada di fase mereka seolah jadi pengingat. Mereka juga keren di fase hidup yang tengah mereka jalani. Meski dibayangi ujian nasional atau ulangan semester yang mempertaruhkan harga diri mereka tetap keren. Meski disambut dengan riuhnya anak-anak dirumah yang merengek minta dibelikan gadget padahal gaji sudah habis mereka tetap tangguh. Meski dihantui isu PHK masal mereka tetap berjuang dengan kepala terangkat.

Mereka adalah manusia yang terus bertahan hidup dan menerima alur yang diberikan Tuhan. Sesekali mengeluh, lain kali menangis marah. Tapi mereka tetaplah keren karena sudah berjuang susah payah untuk kehidupan mereka. Kita memilih untuk bekerja keras ditengah nuansa hati yang berantakan karena kehilangan orang terdekat. Lihat lagi, bagaimana rupamu kini. Tidak terlalu buruk bukan? Kulit yang kering karena paparan sinar matahari setiap waktu adalah bukti bahwa kita sungguh-sungguh memperjuangkan hidup. Wajah yang mulai mengeriput adalah bukti sah bahwa kita telah melalui banyak hal dalam waktu yang tidak sebentar. Lalu kita masih merasa diri tidak berharga?

Lihat lagi kedalam diri. Kamu keren sekali sudah sejauh ini berjalan. Ada banyak orang yang mungkin merasa berat untuk terus berjalan dan berjuang. Sebagian mereka memarahi orang lain atas kondisi mereka, sebagian lagi justru berani menyalahkan Tuhan. Lihatlah wajahmu di cermin. Kamu akan tahu lelah yang tertinggal diwajahmu adalah penggugur dosa jika kamu mau ikhlas menerima.

Sabtu, 12 Januari 2019

Menentukan arah || tulisan untuk diri di usia 40

Akan ada hari yang monoton. Menjalani hari yang begitu lagi, begitu lagi. Menghadapi orang itu lagi, itu lagi. Sesekali ada rasa bosan. Lain waktu ada keinginan untuk berteriak atau mencaci.

Ya. Akan ada hari yang monoton. Matahari yang terbit dari timur, penjual sayur yang menata dagangan dan tersenyum padamu, atau supir angkot yang menungguimu terengah-engah menanjaki jalanan komplek. Kamu pun tetap makan dengan kotak nasi yang sama, isi yang sama. Menu seperti biasa. Menu yang itu lagi, itu lagi.

Bagaimana dan apa selanjutnya kamu selalu berharap, "Semoga hari ini baik-baik saja". Seiring dengan rutinitas yang memenuhi hari-harimu, kamu sudah hafal dialog demi dialog yang harus terjadi. Sampai kamu menyadari, waktu berlalu setahun sepuluh tahun. Lihatlah dirimu yang sekarang. Umurmu semakin bertambah dan teman-temanmu entah bagaimana rupanya.

Lalu kamu merasa tidak melakukan apa-apa dalam hidup. Sebuah cahaya menuntunmu untuk keluar rumah. Angin sore yang basah menginspirasi kamu untuk pindah rumah ke sebuah kota yang tenang. Bisikan mereka di sepanjang jalan pulang membuatmu untuk memikirkan berganti pekerjaan.

Jika itu tidak berat untuk dijalani, lakukanlah.

Jumat, 07 Desember 2018

Have you fight your life?

[catatan acak-acakan setelah lama hening sejenak]

Sore ini agak menohok setelah melihat tayangan di youtube tentang seorang peneliti yang mengatakan bahwa 95% hidup kita ditentukan oleh 7 tahun kehidupan pertama kita. Jika kita dibesarkan dari keluarga kaya, kita akan dididik dengan gaya hidup orang kaya. Namun sebaliknya,  jika terlahir dari keluarga miskin kita akan dididik menjadi orang yang pesimis bahwa kita mampu untuk menjadi kaya.

Yang lebih menarik dari tayangan tersebut adalah ketika membaca komentar dari warganet. Beberapa akun mengatakan hal yang sangat jujur dan mengamini pendapat sang peneliti bahkan mengulang apa yang dikatakan peneliti.

 
“Sekalipun bekerja mati-matian,  kalau kamu terlahir dari keluarga yang miskin tidak akan banyak peluang yang bisa diambil. Tapi ketika kamu terlahir dari keluarga kaya,  orang kaya bodohpun tidak akan hidup miskin”


Saya merasa tertegun dan sedikit teracuni dengan komentar warganet.  Saya tidak terlahir dari keluarga miskin pun keluarga kaya. Maka tidak ada doktrin, “hidup kamu gak akan banyak berbeda dengan orangtuamu” atau “jangan mau kerja capek-capek dan kaya babu, biar orang lain aja yang ngerjain”. Pengalaman mendapatkan prioritas karena orangtua merupakan tokoh masyarakat dan berusaha mati-matian dalam memperoleh menjadi hal yang biasa bagi saya.  Ada momen dimana saya merasa sangat disegani, dihormati, dan dianggap memiliki kelebihan (*materi atau kesempatan). Orang lain tersenyum cukup ramah jika bertemu dengan saya dan membantu dengan cekatan apabila saya meminta tolong. Keadaan yang melenakan sebenarnya tetapi saya tidak meminta itu dari mereka. Entah karena alasan apa, mereka seolah terhipnotis untuk membantu saya. Pun adakalanya berada pada situasi dimana tidak ada yang memandang saya sebagai manusia yang punya kemampuan. Menyedihkan. Mata yang melihat kearah saya tidak ada optimisnya sama sekali dan dari  pandangan mereka seolah ada pertanyaan besar yang tidak tahan untuk dilontarkan. “Kamu siapa?”. Selanjutnya bisa ditebak bagaimana keadaan tidak memihak saya sedikitpun.

“Ada hari dimana harapan sama sekali tak tumbuh, seperti kota mati. Lalu kita sama-sama melewatinya tanpa ada sedikitpun gairah untuk hidup lagi. Matahari menyingkir dan doaku naik ke langit. Keesokan harinya, langit tetap sama dan hari ini seperti hari kemarin yang tanpa nyawa”

Berapa banyak doa yang manusia panjatkan kepada Tuhan agar hidup mereka semakin membaik? Ada berapa banyak harapan yang dituliskan di akun jejaring social dan tertulis beraneka warna di sebelah cermin setiap orang? Ada juga orang yang mati-matian bekerja keras tapi tak kunjung mendapatkan hasil dari usahanya.  Lalu disebelah mereka ada orang yang seolah sangat mudah memiliki sesuatu, tanpa usaha yang melelahkan. Tidak adil? You know each person have their own way.

Too much stories that you can’t take the point but good talk always starting from good greeting such as, “Hi, What’s up?! J at the beginning of your day.

And the end of the day please ask to yourself, “have you fight your life?”.

Didikan orangtua kaya atau miskin bagi saya bukan harga mati. Toh banyak orang yang hidup miskin kemudian berusaha dengan susah payah tidak lantas hidup miskin seumur hidup mereka. Kebanyakan orang tidak langsung kaya melainkan berproses. Butuh waktu seumur hidup memang. Seringkali orang tidak menikmati apa yang diperjuangkannya selama bertahun-tahun karena meninggal terlebih dahulu.  Lalu apakah semuanya sia-sia? Tidak. Ada anak keturunan yang mewarisi apa yang sudah dikerjakan, ada keluarga yang tetap berhak atas hasil perjuangan orang tersebut. Saya menyebutnya, manfaat.

Beruntungnya terlahir dari keluarga kaya adalah mereka punya kepercayaan diri yang bagus, melakukan segala sesuatunya dengan cerdas, serta etika yang terjaga. Meskipun tidak semua keluarga demikian tapi sisi positif dari anak yang terlahir dari keluarga kaya kurang lebih begitu. Terlahir dari keluarga miskin tidak selamanya menyedihkan dan tanpa harapan. Mereka diajarkan penuh syukur bahwa segala sesuatu dalam hidup yang belum menggembirakan bukan sebuah musibah besar. Anak orang miskin cenderung jujur terhadap diri mereka sendiri. Beginilah saya dan hidup saya. Meski ini bisa jadi racun untuk membatasi mimpi mereka.

Ini hidupmu. Kaya atau miskin, berusahalah agar apa yang kamu kerjakan terasa lebih bermakna. Pun agar kamu tahu bahwa usaha yang berasal dari dirimu sendiri adalah sesuatu yang berkesan. Fight.
 

Jumat, 27 Juli 2018

Mindset tentang Detail

Saya bukan ahli detail tapi punya daya iseng yang lumayan bagus buat nemu hal² yang tidak seharusnya ada atau tidak pada tempatnya. Sejak dulu, alergi sama yang rinci-rinci atau njlimet. Udah deh mendingan capek fisik daripada ngubek-ngubek kerumitan. Sampai saya nyerah dengan analisis DCM, AUM dan teman-temannya di Bimbingan Konseling (*mungkin sekarang udah canggih bin high tech). Ditambah administrasi yang seabreg-abreg dari sebelum masuk semester baru sampai mau liburan akhir semester. Well, didukung tanpa restu orangtua finally banting setir.

Kembali ke detail. Ada pepatah, "Gak perlu menjauhi sesuatu sampai alergi karena ketakutanmu, keenggananmu mungkin akan selamanya mengejarmu. Just let it flow. Bersahabatlah dengan hal² yang tidak kita sukai". Sampai detik ini, saya belum bersahabat dengan detail hingga pemahaman itu lahir. Berbagai kemudahan justru datang dari kesulitan yang kita hadapi.

Senior agak sedih ngelihat saya yang agak bandel. "Semuanya harus kamu catet karena pasti bakal lupa. 10 style itu banyak lho. 2 style aja issue-nya banyak dan gak semuanya kelar sekali proses". Ketika ngikutin chart demi chart yang njlimet saya cuma inget, "Gak ada yang lebih menakutkan selain murka Tuhan. Ini hal baik yang mungkin mendatangkan keridhaan Tuhan terhadapmu". Sampai detik ini, otak saya masih mix and match trik mana yang paling klik dengan diri saya sembari mengingat bagaimana kebaikan demi kebaikan yang muncul selama ini. This mind is yours. Nothing happen if you're stuck here. Be brave. Be better.

Memulai hal yang bukan kesukaan kita memang sedikit menguras energi but it's okay. Setidaknya kita bisa memilih untuk belajar dari semua orang. Beruntungnya, begitu banyak pihak yang welcome dengan interupsi dari saya. Meskipun begitu saya tetap butuh waktu untuk memaknai satu demi satu poin yang ada. Saya butuh waktu untuk mencerna butiran ilmu yang ditransfer setiap harinya.

Doktrin yang saya tanamkan dalam kepala saya adalah, "Apapun yang tidak ada keburukan didalamnya akan Allah berikan jalan kemudahan. Allah berikan pertolongan dari segala arah". Saya hanya ingin berteman dengan berbagai chart, reject demi reject, dan chasing sana sini.

I know it won't be easy but i have many people who support anytime.

Andai mengingat betapa saya ogah dengan administrasi sekolah, belum jodoh untuk mengajar. Sekarang harus lebih bersahabat dengan email yang bersliweran, chart yang bikin muka kotak kaya cell di excel, atau wira wiri keliling factory demi finishnya sample-sample. I know it won't be easy but i have many people who support anytime.

Sungguh Allah Maha Kuasa, saya bersyukur dengan kesempatan terbaik yang telah dipercayakan. Tidak ada lagi beban berat dalam pikiran yang mengganggu. Walau berat, beginilah proses yang ada. Jalani, nikmati dan hargai.

👕👖

Minggu, 08 Juli 2018

Belajar Yakin (*lagi) Sama Allah

Saya pernah share pengalaman interview pada sebuah perusahaan multinasional. Interviewer (*yang asli orang Indonesia) menggunakan bahasa Inggris dalam melakukan sesi interview. Secara teknis saya bisa memahami apa yang dikatakan interviewer, tapi karena sedikit gugup jawaban saya malah kaku. Oh God. Performa yang pas-pasan membuat saya harap-harap cemas. Hasilnya? SAYA GAGAL. Sejujurnya saya berharap diterima demi karir yang semakin berkembang tapi apa daya, Gusti Allah belum ridha.

Beberapa bulan kemudian, saya mengikuti interview. Awalnya disambut orang HRD (yang ternyata adalah managernya), pertanyaan pertamanya adalah "Bahasa Inggrisnya aktif?" Beliau tidak bertanya skor TOEFL, kursus bahasa Inggris dimana dan pertanyaan lain berbau bahasa Inggris. Sambil menapaki tangga dan melalui pintu authorized people, saya menjawab mantap "Iya Pak". Sampai di ruang yang lumayan luas dan cozy, beliau memasrahkan saya kepada seorang perempuan cantik dan tinggi. Perempuan ini berbahasa Indonesia dengan terbata-bata hingga ia menyerah kemudian bertanya, "Is it okay for you if i'm.. ehm (*diselingi senyum) speak in English?" Hehe. Kami pun berbicara banyak hal selama 10 menit kemudian.

Tepat semalam, teman saya berkata "Saya meminta X tapi Allah gak ngabulin. Giliran saya minta yang terbaik, Allah justru ngasih X". Saya berharap diterima di perusahaan pertama, tapi Allah tidak memberikannya. Giliran saya minta yang terbaik, Allah berikan semua yang saya butuhkan. Jauh lebih baik daripada ekspektasi saya. Jauh memenuhi semua harapan saya sebelumnya.

Apakah saya begitu hebat? Apakah saya sudah profesional? Allah saja yang hebat. Buktinya, harapan saya diberikan satu demi satu. Adakalanya sekaligus dengan bonus teman baru yang menyenangkan, fasilitas hidup yang semakin baik, dan kesempatan untuk lebih berguna bagi orang terdekat saya. Apakah mudah untuk belajar yakin sama Allah? Bagi saya, itu tidak mudah tapi bukan berarti tidak bisa. Saya sering merasa diri tidak pantas untuk mendapatkan sesuatu yang baik. Lebih sering memaksakan sesuatu terjadi sesuai keinginan saya. Terlepas dari semua usaha untuk yakin, percayalah ketika sudah memiliki keyakinan yang kuat serta melibatkan Allah, kun fayakun. Bagi Allah, semua hal jadi serba mungkin.

Terakhir, untuk semua orang yang yakinnya sedang diuji, untuk teman-teman yang feeling useless, feeling stuck, dan kamu yang sedang menanti janji Allah yang Maha Kuasa,

.... Janganlah berputus asa terhadap rahmat Allah. Kuatkan dirimu ditengah cibiran, pertebal yakinmu untuk mendapatkan apa yang kamu butuhkan. Tanamkan dalam hati dan benak bahwa kamu layak mendapatkan yang terbaik. Tentunya dengan terus meningkatkan kapasitas diri dan berdoa....

Bukankah Allah sudah menenangkan kita dengan ayat,
~ Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sesekali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu || ar Rum : 60 ~

Yakin, percaya. Kamu layak atas harapan baikmu.

Minggu, 03 Juni 2018

It's time to REUNI


Gengs, pernah gak dateng ke acara reuni ternyata suasananya gak serenyah yang dibayangkan? Ngobrolnya cuma dua orang tiga orang, fokus ke smartphone masing² atau diisi dengan obrolan yang gak penting² banget buat dibahas.

Ajang silaturahmi yang diharapkan keberkahannya justru menjadi momok bagi sebagian orang. Apa aja sih yang bisa kita siapkan buat dateng ke reuni selain budget dan bawa diri? Let's check the most important things to make our REUNI feel awesome..

1. Memulai dengan yang ringan. Lama gak ketemu teman lama, bukan lantas kita bisa langsung menodong teman kita dengan pertanyaan berat. Mulailah dengan menanyakan perjalanannya sampai ke lokasi reuni, bertanya kabarnya, wajah yang lebih segar atau menanyakan kehadiran teman yang lain. Sajian pembuka yang ringan bisa membuat teman kita merasa disambut dan menciptakan suasana hangat bersahabat.
2. Hindari isu sensitif. Pertanyaan klasik seperti "kamu belum punya anak? Rencananya kapan?", "kerja dimana kamu sekarang? Gak kedengaran kabarnya di sosmed", atau "mau nikah kapan sih? Nyari yang gimana lagi?". Better to you enjoy the time and let them share their private things by themself. Gak perlu ditanya dengan penuh semangat. Kalau mereka berkenan membagikan pengalaman mereka, kita pun akan nyaman berbincang hal² yang sensitif agar tidak menyinggung perasaan. Kamu feel OK, aku feel OK dan kita feel OK. Is it right? 
3. Tetap bersikap netral. Proses hidup setiap orang adakalanya berbeda. Ada yang kebetulan sedang berlimpah rejekinya, ada yang sedang bermasalah dalam karirnya. Mungkin kita sedang berusaha menyembuhkan anggota keluarga yang sakit kronis dan butuh dana besar. Disaat yang bersamaan teman kita baru pulang umroh. Dalam hal ini, bercandalah tentang hal² diluar diri yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan pribadi seseorang. Biar teman kita atau kita sendiri tidak merasa kecil hati atau minder.
4. Doakan. Ada banyak orang dengan jalan hidup yang berbeda. Mari doakan mereka yang sudah baik hidupnya agar semakin baik kedepannya. Lebih-lebih mereka yang masih berjuang atau sedang menyelesaikan poin besar dalam hidupnya. Doakan diri sendiri, doakan teman sendiri. Doakan semua orang.

Karena reuni yang baik bukan soal venue yang instagram-able, bukan pula tentang banyaknya teman yang datang. Reuni yang baik membuat mereka yang datang menanti reuni selanjutnya. Mereka akan bertanya "Tahun depan tetap reuni kan?" Maka tidak ada yang lebih indah selain diharapkan kehadiran kita oleh teman-teman kita. Iya kan?

Selamat Reuni!! 🙇🏻‍

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...